Oleh : Firdausi ( Penulis adalah Putra Sapeken bekerja sebagai dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ) Perubahan sosial atau tranformasi sos...
![]() |
Oleh : Firdausi
(Penulis adalah Putra Sapeken bekerja sebagai dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Perubahan sosial atau tranformasi sosial masyarakat Sapeken dapat mencakup tranlasi sosial masyarakat Sapeken, refleksi sosial masyarakat Sapeken, rotasi sosial masyarakat Sapeken, dan dilatasi sosial masyarakat Sapeken. Translasi sosial masyarakat Sapeken dapat diartikan sebagai pergeseran sosial masyarakat Sapeken dari keadaan sosial masyarakat Sapeken awal keadaan sosial masyarakat Sapeken baru. Refleksi sosial masyarakat Sapeken adalah gambaran keadaan sosial masyarakat Sapeken saat ini dibandingkan dengan gambaran keadaan sosial masyarakat Sapeken sebelumnya sebagai standard dan acuan. Untuk rotasi sosial masyarakat Sapeken dapat diartikan sebagai perputaran kehidupan sosial masyarakat Sapeken dalam berinteraksi antara sesama masyakarat Sapeken secara internal maupun dengan luar masyarakat Sapeken secara eksternal. Sedangkan dilatasi sosial dapat diartikan sebagai perkembangan sosial masyarakat Sapeken sebagai akibat adanya interaksi secara alami maupun secara disengaja oleh pemerintah maupun masyarakat melalui lembaga atau institusi yang ada.
Masyarakat Sapeken adalah Suku Bajo Darat
Suku bajo atau same menurut beberapa keterangan adalah suku yang tinggal terpencar di berbagai tempat di daerah Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Sumatra bahkan ada yang tinggal di Malaysia dan Philipina. Di daerah sulawesi dan di daerah nusa tenggara mereka terdapat di sulawesi utara, sulawesi tenggara, Lautan Bajo, pulau Kera, dan daerah Sumbawa. Suku bajo salah satu suku di Indonesia yang sangat menguasai secara kompleks masalah kelautan. Mereka sangat terampil mengetahui ilmu kelautan tradisional mulai dari ilmu membuat perahu dalam ukuran kecil disebut lelepe dan dalam ukuran besar disebutbidok, mengetahui gejala pasang surut air laut, menaksir kedalaman laut, mempunyai ketrampilan berlayar dengan menghadang ombak yang besar dan ganas di lautan luas sampai dengan ilmu perbintangan yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Ini dapat dipahami karena suku bajo awal dulu hidup dan menetap di laut.
Dalam literature katagori sosial suku bajo, diketahui bahwa suku bajo mencakup bajo laut dan bajo darat. Bajo laut sangat tergantung dengan laut bahkan mereka menjalani kehidupan mulai dari melahirkan, bekerja, dan menjalani aktifitas lain, sampai dengan meninggal tetap berada di laut dengan menggunakan perahu-perahu. Sedangkan suku bajo yang sudah hidup dan menetap di darat disebut suku bajo darat. Bajo darat adalah suku bajo yang sudah tidak tergantung sepenuhnya dengan laut mereka telah menetap dan memiliki rumah di darat, laut hanya sebagai lahan mata pencahrian mereka untuk tetap survaive hidup dan melangsungkan kehidupannya. Suku bajo darat mempunyai relasi atau hubungan sosial yang lebih luas dalam berinteraksi dan bersinggungan dengan masyarakat sekitar pinggir laut yang pada umumnya adalah suku bugis, bahkan menurut cerita ada putra raja Bugis yang mempersunting putri Bajo sebagai tanda bahwa interaksi antara suku bajo dengan suku bugis sudah sangat kuat dan berlangsung sejak jaman dahulu kala.
Masyarakat kepelauan Sapeken yang jumlah penduduknya kurang lebih 37700 orang yang tersebar disembilan desa, mayoritas atau sekitar 90% adalah suku bajo darat atau same mereka sebagian besar berada di pulau Sapeken, pulau Sasiil, pulau Sepanjang ujung atau Toroh, pulau Sabuntan, dan beberapa pulau lainnya disekitar kepulauan Sapeken. Sisanya adalah suku lain yang disebut bagai misalnya, bagai mandar, bagai kangayan atau bagai madure suku ini tersebar di beberapa pulau seperti, pulau pagerungan besar, pulau Saredeh, pulau larangan, pulau Sadulang kecil, pulau Saibus, dan pulau Paliat.
Tranlasi dan Reflesi Sosial Masyarakat Sapeken
Masyarakat Sapeken tempo dulu berdasarkan pengalaman dan cerita orang-orang tua atau hatotoe sangat kental dan menjunjung tinggi tradisi, adat dan kebiasaan nenek moyang yang berasal dari suku bajo yang sudah mengalami asimilasi kawin campur dengan suku bugis. Ini terlihat dalam seni budaya, orang-orang Sapeken tempo dulu masih sempat melihat acara-acara pentas tari yang disebut nigal. Nigal adalah sebuah bentuk tarian perempuan-perempuan bajo yang biasanya dipentaskan saat ada orang yang melangsungkan pesta pernikahan. Tarian ini biasanya dipertunjukan pada malam hari dan disaksikan oleh banyak orang termasuk para laki-laki, sekarang ini kegiatan nigal yang dilakukan saat pesta perkawinan sudah berubah dan diganti dengan orkes yang juga mempertontonkan penyanyi-penyanyi perempuan.
Demikian juga dalam hal seni bela diri orang-orang Sapeken tempo dulu terutama anak-anak mudanya banyak yang mempelajari ilmu bela diri yang disebut manca atau kontau sehingga dulu banyak ditemui pendekar-pendekar tangguh seperti, daeng tape, daeng mile, wa Mudjeni, dan para pendekar lainnya. Kegiatan manca juga biasanya dipertunjukkan saat-saat pesta perkawinan, sekarang ini kegiatan manca saat pesta perkawinan sudah jarang dilaksanakan dan kegiatan ini sudah mengalami proses translasi menjadi karate yang notabene adalah seni bela diri dari luar yang bukan asli seni beladiri orang bajo.
Kalau dalam masyarakat jawa kita sering mendengar pertunjukan wayang sebagai salah satu kesenian cerita yang mengisahkan tokoh-tokoh yang sangat dikagumi oleh orang-orang jawa pada umumnya yang juga sempat dijadikan salah satu media untuk menyebarkan islam oleh para wali. Kesenian cerita yang mirip seperti ini juga dimiliki oleh masyarakat Sapeken yang disebut denganiko-iko atau pitoto, iko-iko dulu adalah bentuk cerita rakyat yang sangat digemari oleh masyarakat Sapeken karena seni cerita ini menceritakan tokoh-tokoh yang digemari. Sekarang iko-iko sudah amat jarang diceritakan dan keberadaannya nyaris hampir punah, padahal jika iko-iko ini dilestarikan dan banyak anak-anak muda yang mempelajarinya tidak mustahil dapat menjadi media dakwah yang dapat meluruskan pemahaman tauhid orang-orang sapeken seperti yang dilakukan oleh para wali di tanah jawa.
Dalam hubungan sosial muda-mudi masyarakat Sapeken tempo dulu tidak mengenal istilah pacaran atau lalakuan karena dianggap tabu dan keluar dari norma kesopanan, para pemuda hanya mengetahui karakteristik dan tabiat gadis yag akan mereka persunting dari orang dekatnya, perempuan-perempuan hanya bisa terlihat oleh laki-laki saat jajau dan pada saat ngireh bunteh. Orang tua dulu kawin tidak melalui pacaran namun laki-laki langsung melamar melalui keluarga besarnya. Perempuan-perempuan bajo tempo dulu sangat pemalu dan jarang keluar rumah, jika mereka ingin keluar rumah harus ditemani orang dekatnya dan sangat menjaga aib keluarga terutama keluarga besarnya. Perempuan yang pergi ke rumah laki-laki atau ngunse dan orang yang kawin lari atau silaian dianggap membuat malu keluarga dan tidak akan dianggap lagi sebagai anak oleh orang tuanya. Sekarang, perkawinan mesti didahului dengan pacaran atau lalakuan yang akibatnya banyak perempuan yang hamil diluar nikah, dan banyak anak yang tidak tau siapa ayahnya atau disebut anak bule. Demikian juga dengan mas kawin atau panangak yang cenderung semakin besar yang dirasa sangat memberatkan pihak laki-laki meskipun panangak adalah merupakan simbol keluarga baik-baik dikalangan orang-orang bajo, namun kita harus tetap mempermudah dan tidak mempersulit pihak laki-laki sebagai mana yang diajarkan oleh agama.
Rotasi Social dan Dilatasi Sosial Masyarakat sapeken
Interaksi sosial suku bajo di kepulauan sapeken sudah berlangsung sejak awal ketika suku bajo pertama kali mendiami kepulauan ini, tidak ada sumber yang dapat diperoleh untuk menjelaskan kapan dan di pulau mana di kepulauan Sapeken suku bajo menetap pertama kali. Berdasarkan petunjuk dan jejak yang dapat dipelajari bahwa suku bajo kemungkinan pertama menetap di pulau Sabuntan atau di pulau sepanjang ujung yang disebut toroh. Di pulau Sabuntan dapat dilihat perkampungan yang mirip dengan perkampungan-perkampungan bajo yang terdapat di daerah Sulawesi pada umumnya yang letaknya hanya beberapa meter bahkan lepas dari bibir pantai yang disebut kampoh bire dan diperkampungan ini dapat kita temukan sebuah pemakaman yang disebutkuburah bire. Ini sebuah kemungkinan karena di pulau Sabuntan terdapat sebuah mata air yang mengalir yang disebut bue buai dimana suku bajo sangat tergantung terhadap air tawar dan merupakan barang langka yang juga menjadi simbol pretesius karena air laut tidak dapat mereka minum.
Kemungkinan lain orang bajo pertama kali menetap di desa Tanjun Kiawok karena letaknya diujung pulau Sepanjang menghadap ke laut lepas yang memungkinkan orang-orang bajo Sulawesi atau nusa tenggara yang berlayar mengembara mencari kerabat atau yang mungkin terdampar dibawa angin dan arus sebagai tempat singgah awal dan akhirnya menetap. Di desa tanjung kiawok yang dikenal dengan toroh dapat kita temukan ciri-ciri dan karakteristik orang-orang bajo yang umumnya beragama islam namun masih memperaktekkan kepercayaan animisme dan shamanisme yang mepercayai roh-roh halus, dukun-dukun yang disebut panambar, malelepe bidok, dan masih melakukan banyak pantangan-pantangan yang mereka sebut denganpamali sebuah kebiasan yang sangat ditentang oleh ajaran tauhid.
Di desa Tanjung Kiawok air tawar sangat sulit didapat sehingga besar kemungkinan interaksi antara suku bajo toroh dengan suku bajo Sabuntan dengan alasan air lebih sering terjadi saat itu ketimbang pulau-pulau lain, misalnya antara suku bajo toroh dengan orang bagai di pulau Saredeh yang letaknya amat berdekatan. Namun interaksi sosial masyarakat toroh dengan suku bajo yang ada di pulau Sapeken sudah juga terjadi sejak awal. Jejaknya dapat kita lihat dengan banyak hubungan kekerabatan antara orang Sapeken kampung bukut dan kampung kota dengan orang yang ada di desa Tanjung Kiawok toroh. Bahkan sampai sekarang masih dapat dilihat bidok yang disebutsoffe dan jala yang disebut ringgit atau rue digunakan untuk menangkap ikan yang merupakan perahu dan alat penangkap ikan tradisional suku bajo.
Demikian juga suku bajo yang ada di desa Sabuntan tempo dulu telah menjalin hubungan sosial dengan orang-orang Sapeken khususnya orang-orang Sapeken kampung raas yang umunnya adalah pendatang suku Bugis-Makassar. Orang-orang Sapeken kampung raas sampai sekarang masih punya hubungan kekerabatan dengan orang-orang bajo di pulau Sabuntan. Adanya interaksi sosial antara sesame suku bajo yang ada di kepulauan Sapeken ditandai pada relasi-relasi sosial seperti kebiasaan gotong royong yang disebut jajau ataunanabangan yang jarang kita jumpai di tempat lain apa lagi di kota-kota besar. Namun suasana kekerabatan dan keakraban kegiatan jajau ini saat ini tidak sekuat tempo dulu. Jajau dilakukan saat ada orang mendirikan rumah, merayakan pesta perkawinan. Keakraban suasana jajau saat perkawinan kala itu mencapai puncaknya dengan ditandai dengan kegiatan saling menyiramkan air satu sama lain yang biasa disebut sisitampo.
Interaksi sosial secara eksternal antara masyarakat Sapekan dengan orang di luar Sapekan atau bagai lebih banyak mencakup hubungan ekonomi. Hubungan ekonomi terjadi ketika ikan hasil tangkapan masyarakat Sapeken di jual ke pulau Bali, dan pulau jawa sehingga sejak dulu orang-orang Sapeken sudah mendengar ada bagai Bali, bagai Banyuangi, bagai Panarukan, dan bagai pasuruan bahkan ada sebagian orang Sapeken yang sudah berinteraksi dan mengenal bagai-bagai itu dengan baik. Barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak, dan kebutuhan lainnya didatangkan dari pulau Bali dan pulau Jawa. Orang-orang Sapeken menyerah karena tidak punya daya dan kemampuan untuk menyediakan kebutuhan pokoknya sendiri karena amat lemah dan miskin dalam pengetahuan dan teknologi. Orang-orang terpelajarnya enggan dan belum mau belajar pada industri pertanian, industri pengolahan makanan dan minuman, dan industri-industri lain untuk mengatasi kelemahan dan ketidak berdayaan ini. Padahal orang-orang terpelajar ini mempunyai banyak akses dan dapat dengan mudah menjangkau kota-kota yang menjadi pusat dan pengembangan industri tersebut.
Dewasa ini akibat pembiaran dan pengelolaan lingkungan yang tidak ramah, banyak orang-orang yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya dengan melanggar hukum yang menyebabkan trumbu-trumbu karang rusak sehingga ikan sangat susah dicari. Anak-anak muda Sapeken yang sudah kehilangan mata pencahrian akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggungjawab ini banyak yang pergi merantau mengadu nasib mencari pekerjaan di pulau Bali. Tidak sedikit anak-anak muda ini pulang kembali ke Sapeken dengan gaya dan penampilan bagai yang jauh dari identitas kebajoan mereka. Dengan penguasaan sains dan teknologi oleh sebagian manusia di belahan bumi mengakibatkan orang-orang sapeken menjadi korban sampah informasi melalui tayangan acara tv di rumah-rumah mereka. Orang-orang Sapeken sekarang sangat konsumtif, transaksi riba dan kegiatan rentenir semakin menjadi-jadi, kurang patuh terhadap penegakan hukum, pergaulan laki-laki dan perempuan semakin bebas.
Interaksi sosial masyarakat Sapeken secara internal dan eksternal yang kita sebut sebagai rotasi sosial telah memberikan dampak terhadap dilatasi sosial masyarakat Sapeken. Masyarakat Sapeken sungguh sudah mengalami banyak perubahan, perubahan itu jauh melampaui dan meninggalkan tradisi dan kebiasaan masyarakat Sapeken tempo dulu akibat adanya translasi sosial, reflesi sosial, rotasi sosial, dan dilatasi sosial. Perubahan dapat dijadikan sebagai tanda-tanda dan perenungan sosial apakah masyarakat Sapeken akan semakin jauh terseret oleh zaman meningggalkan tradisi dan kebiasaannya atau perubahan sosial dapat dibenarkan dan dijadikan sebagai pijakan jika saja perubahan itu memberikan dampak positif terhadap perkembangan sosial orang-orang bajo Sapeken. Tugas lembaga-lembaga pendidikan khususnya pendidikan islam dan orang-orang terpelajarnya untuk bekerja keras memikirkan masalah penting ini.

COMMENTS