Oleh : Yazid R Pasandre Sengketa Indonesia - Malaysia yang dimulai tahun 1967 terkait status dari kedua pulau yang berada di Selat Makassar ...
Oleh : Yazid R Pasandre
Sengketa Indonesia - Malaysia yang dimulai tahun 1967 terkait status dari kedua pulau yang berada di Selat Makassar ini bermula dari klaim batas wilayah, perbedaan teknis hukum laut, dan berakhir dengan kemenangan Malaysia atas dasar keputusan Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002. Setelah berhasil merebut Sipadan dan Ligitan, pulau Ambalat kembali diklaim Malaysia sebagai miliknya dan sampai sekarang masih dalam sengketa.
Namun, kekalahan itu sesungguhnya berpangkal dari keabaian historis. Indonesia boleh dikata tak kuasa menghadirkan fakta historis kepemilikan geografis sekaligus peradaban terhadap Sipadan dan Ligitan, bukan karena tidak mempunyai dasar alasan yang cukup untuk itu, melainkan karena kita cenderung lengah dalam ikhtiar untuk menggali dan menghimpun autentisitas sejarah sendiri.
Sejarah Indonesia sebagai Kepulauan Antara (Nusantara) yang sekaligus menempatkannya sebagai negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia dengan kepemilikan 17.508 pulau nyaris tidak memberikan pengaruh dan nilai tambah, karena khazanah laut dan pulau yang begitu kaya lebih dimaknai sebatas dongeng ketimbang pondasi pembangun bangsa maritim yang besar.
Dalam konteks ini, kandungan pesan sejarah kemaritiman kita telah gagal digali untuk menjadi benteng budaya dan jati diri bangsa.
Dua pertiga dari luas total Indonesia yang mecapai 1.904.556 kilometer adalah lautan dan air yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Kekuatan ekonomi Nusantara mengalir dari sungai, pesisir, dan laut seiring dengan berdirinya pelabuhan-pelabuhan besar di tiga tempat itu. Serta membuka hubungan perdagangan yang maju pesat dengan dunia yang luas.(Baca: relief Candi Borobudur, Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai)
Hiruk-pikuk pelabuhan dan lalu-lintas perdagangan ini pula yang mengundang VOC, Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) hadir di Nusantara.
Kerajaan Belanda sebagai induk VOC kemudian mengirimkan tentara, senjata, dan meriam untuk melakukan kolonialisasi terhadap kaum pribumi dan berhasil bertahan hingga 350 tahun. Sebuah pengalaman sejarah yang sangat pahit.
Belanda menerapkan "Cultuurstelsel" atau kegiatan Tanam Paksa dengan membuka perkebunan-perkebunan besar di lereng pegunungan dan pedalaman, sehingga membuat kaum pribumi lupa akan laut. Lupa terhadap kekayaan bahari mereka.
Ironisnya, pasca kemerdekaan, perhatian pembangunan belum mencerminkan Indonesia sebagai nagara kepulauan hingga dewasa ini. Meskipun Amandemen II Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 25E telah meletakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara.
Setidaknya, fenomena pembangunan yang "ingkar sejarah" dan dengan demikian ingkar pula terhadap UUD 1945 masih terlihat dari rapuhnya kehidupan ekonomi, kesehatan, serta pendidikan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ketika masyarakat pesisir atau nelayan urung melaut karena dirundung cuaca buruk, misalnya, negara atau pemerintah cenderung bersikap menunggu keluhan baru bertindak. Tetapi ketika masyarakat daratan atau petani gagal panen akibat perubahan iklim, negara langsung bersikap untuk menjamin ganti rugi. Padahal, Indonesia seharusnya bisa dibangun secara adil di atas kesadaran "archipelago state".
Bahwa kita memang harus menjadi, dan menjadikan Indoensia, sebagai negara maritim yang besar dengan didukung pertanian yang besar pula.
Orientasi mengubah negara berbasis laut atau darat saja itu salah. Maka yang harus dirubah dari "land base development" menjadi "archopelagic base development". Oleh karena itu, salah besar jika ada kebijakan pulau disewakan karena pulau tidak terlepas dari negara kepulauan. Dalam hal ini sama saja mengganggu kedaulatan negara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Prof. Dimyati Hartono, Antara)
Keengganan untuk mengakui Indonesia sebagai "archipelago state" dalam praktik bernegara secara nyata, tidak saja telah mendistorsi kehadiran budaya maritim yang berwatak progresif, egaliter, dan terbuka untuk ikut mengorentasikan pembangunan, tapi "pengingkaran" itu telah turut membuka jurang-jurang kesenjangan di berbagai dimensi kehidupan bangsa.
Persoalan yang cukup kronis pada kita adalah ketika kita tidak mampu—bahkan tidak mau— menerima realitas diri atau diri eksistensial kita yang sebenarnya, yang maritim. Bukan hanya resistensi dari segolongan kita yang merasa ”ada” dan dibesarkan karena kultur daratan (kerajaan atau kekuasaan konsentris), melainkan juga karena pikiran ”renaisans” telah begitu menguasai cara kita mengapresiasi, menjalani, menghayati, hingga mentransendensi hidup dan diri kita sendiri. (Radhar Panca Dahana, Kompas: )
Miskinnya upaya melestarikan sejarah ke-nusantara-an telah menyebabkan kita tertatih mengahadapi Malaysia dalam sengketa Sipadan dan Ligitan yang sangat menguras daya, sekaligus telah mengebiri eksistensi kita sebagai negara kepulauan yang berdaulat. Bahkan kegagalan menggali budaya maritim yang kaya toleransi dan terbiasa menghargai kebersamaan itu telah mengusik keintiman, harmoni, dan kohesi sosial yang kita miliki.
Pada saat yang sama, Nusantara yang begitu kaya dengan ragam budaya dan kearifan lokal (local wishdom) lambat laun ikut tergerus oleh karnaval budaya "lupa diri". Lupa, bahwa sejatinya kita adalah kekuatan bangsa yang terajut menjadi satu dari khazanah pulau-pulau yang elok nan permai.

COMMENTS