Oleh Aqeeb assapekani (untuk : Mojang) “Kamu tahu ada sesuatu yang seharusnya tidak ada pada semestinya, bulan yang muncul di siang hari ...
Oleh Aqeeb assapekani (untuk : Mojang)
“Kamu tahu ada sesuatu yang seharusnya tidak ada pada semestinya, bulan yang muncul di siang hari semestinya menantang matahari untuk tidak bersinar dihatimu”.
“ingin rasanya aku terbang, tapi aku tak punya sayap dan kini hanya terpaku pada kerinduan yang sangat mendalam. Memikirkan tentang engkau muncul dalam bola kristal yang ada pada dinding kamarku membentuk labirin pada etalase kaca jendela rumahku. Senyummu masih mengambang pada gagang pintu yang sulit untuk aku genggam, hanya berderit dengan karat kering pada kusen berwarna merah yang tak sempat aku bersihkan, namun dihatiku senyummu begitu nyata”.
“Aku benci, kenapa aku harus terpisah jauh dari kekasihku. Hanya ratapan kepedihan dan umpatan protes pada Tuhan karena tak meletakkan jasadku pada dinding kamarmu yang dihiasi daun sutra”.
“Seorang tua pernah bertanya pada gadis yang selalu menutup dirinya, kenapa tak kau terima saja lamaran itu? Lalu si gadis menjawab “aku belum menyaksikan burung gagak bewarna putih terbang mengitari atap rumahku”.
“aku tuangkan kata-kata cinta pada secangkir kerinduan, pada wadah sepi yang didalamnya tergenang muara kasih sayang, saat kau lontarkan kata-kata miss u saat itu pula bola mataku membentuk kristal yang jatuh pada titik kerinduan”.
“Jakarta adalah kota yang selalu menyimpan tanya, tapi kita kadang tak pernah menemukan jawabannya, terkadang pula jawabannya ada pada dinding kekecewaan. Kita temui ia pada air bah yang tak pernah surut, pada bacin dengan bau yang tak sedap, pada got-got yang dikerumuni tikus-tikus yang besarnya melebihi kucing Australia, pada tanah longsor, bahkan pada kekasih yang selalu merindukan pujaan hatinya. Jakarta tak selalu menyimpan kebahagiaan, tapi ia ada pada setumpuk sampah di lokasi bantargebang dan pada hujan yang tak kunjung reda”.
“Mungkin aku tak pernah bisa menulis puisi karena aku bukan penyair tapi setiap pesan yang aku sampaikan pada kekasihku layaknya bait-bait puisi yang menyampaikan rasa lapar, lapar pada kerinduan, lapar pada belaian kasih sayang. Hingga guratan raut wajah khatulistiwa menatapku dengan sumringah dan berkata “engkau telah sampai pada bait-bait puisi yang begitu indah” meski aku menantang kalau ini bukanlah puisi, ini hanyalah narasi kerinduan yang aku teteskan pada kertas putih, seputih kapas, tak bernoda, meski tetesan tinta menghitamkannya. Semoga ini bukan yang terakhir.
“Jika engkau tak suka pada teriknya mentari dan pada gerimis yang mengundang luka, maka tidurlah dan bermimpilah, sebab mimpi bisa memberimu angan kebahagiaan”
“Aku masih merasakan hangatnya sentuhan bibirmu di malam itu, kini aku dahaga menginginkan air kesejukan pada kenangan kesetiaan di dirimu. Ingin rasanya aku mencumbu, tapi keramaian dan kegaduhan membuatku tak bisa menikmati hangatnya pelukanmu dalam imajiku”.
“Aku sedang merenung meratapi bintang dan rembulan yang tertutup awan, mencumbu bayangmu dalam kesendirian. Bersama imajiku”.
“Ingin rasanya aku berontak pada waktu, ia mempertemukan kita, namun ia juga yang membuat kita terpisah, kenapa ia tak berhenti saat pertemuan itu ada. Mengenangmu adalah sebuah keindahan bagiku.
“Aku ingin menanam butiran-butiran kasih sayang di hatimu dan hatiku, hingga tumbuh benih-benih kerinduan pada diri kita. Aku ingin sua”.
“Jika engkau tak suka pada dinginnya malam dan tetesan embun pagi, ingatlah selalu tawa sunyi dan tertawalah pada kesunyian”.
“Pada sejumput awan yang menghitam di langit jakarta, aku titipkan tetesan air mata kerinduan menjelma hujan dari bayangan matahari di langit bali”.
“Aku tak pernah mengerti, meski aku bilang benci, meski aku bilang tak peduli, meski aku bilang jangan ganggu aku, tapi kata-kata itu tak berarti apa-apa bagiku, karena di hatiku berarti sebaliknya”.
“Aku tak mampu meredam tiupan angin yang menatapku gelisah, perempuan itu telah mengubah kesadaranku menjadi hal yang sangat absurd”.
BALI, tahun baru 2014

COMMENTS