Oleh :Aqeeb assapekani “Mahkamah pengadilan telah menetapkan bahwa Alang Hermansyah bin Abdur Rohman dituntut hukuman mati karena telah mela...
Oleh :Aqeeb assapekani
“Mahkamah pengadilan telah menetapkan bahwa Alang Hermansyah bin Abdur Rohman dituntut hukuman mati karena telah melakukan pembunuhan berencana, segala bentuk tuntutan dan pembelaan dari pihak Alang ditolak. Hukuman gantung itu akan dilaksanakan besok sore”. mengerti Alang?”.
Aku mengangguk. Selanjutnya palu diketuk tiga kali.
“kami sudah menghubungi keluargamu Alang, tapi……….” kata seorang sipir.
”Aku sudah tidak punya keluarga”. Aku memotong perkataannya.
***
Hidup adalah satu perjalanan, Semua orang mempunyai ceritanya sendiri dan yang membedakan adalah waktu, perjalanan panjang hidupku telah mengisahkannya. Dan inilah ceritaku.
“Alang, Alang, Alaaaang” Ibu memanggil namaku.
Ya memang itulah namaku. Aku juga tak tahu kenapa kedua orang tuaku memberi nama itu. Aku tak pernah bertanya sama mereka karena aku tak pernah mau tahu. Ketika ibuku memanggil saat itu aku sedang berkelahi dengan teman sebayaku, waktu itu usiaku baru dua belas tahun sementara ia satu tahun berada diatasku. Aku terus memukulinya karena merasa harga diriku diinjak-injak saat dia bilang bahwa aku tak punya bapak. Bagiku keluargaku adalah harga diri. Saat batinku terhina saat itu pula aku akan melayangkan kepalan tanganku bagi siapapun yang merenggutnya.
Sebenarnya aku juga tak pernah tahu siapa bapakku. Ketika coba kutanyakan pada ibu dia bilang bahwa bapak pergi merantau saat usiaku satu tahun dan sampai sekarang tak pernah ada kabar dan tak pernah kembali.
***
Ibu menjewer telingaku di saat aku membuat salah seorang temanku menangis, ibu menangis karena tidak tahan melihat kelakuanku dan kenakalanku pada teman-teman sebayaku. Padahal aku hanya membela diri atas perbuatan yang mereka lakukan untukku. Ibu mengurungku dalam kamar agar anak- anak di sekitar rumahku aman dari kenakalanku.
Bahkan pernah suatu hari ibu sangat marah karena aku kedapatan mencuri sepotong ayam dipasar. Ia memukuliku tak henti-hentinya sambil menangis.
“Kenapa Alang? Kenapa kau mencuri sepotong ayam, apakah kau merasa kelaparan? Apakah tak cukup ibu memberi makan kau? Jawab Alang, jawab”. Ibu sangat marah.
“Ibu tak pernah mengajarkan kau mencuri Alang. Ibu juga tak pernah mengajarkan kau berkelahi”. Ia masih terus tersedu. Aku menangis sejadi-jadinya. Tapi aku tahu ibuku sangat sayang kepadaku.
“Maafkan Alang bu”. Sahutku sambil menangis.
Sehari setelah mengurungku, ibu menemuiku dan memelukku. “Maafkan ibu nak, ibu sayang kau”. sambil menyuapi aku bubur nasi ayam goreng. Ibu masih saja menangis.
“Tidak bu, Alang yang salah”. Dengan mengakui kesalahan tidak berarti aku lolos dari kurungan ibu.
Kami memang hidup dalam lingkungan yang keras, jauh dari ajaran agama, dalam lingkungan kami aku tak pernah mendapatkan pendidikan agama. Hal-hal yang dilarang agama sering dilakukan oleh mereka para kaum muda, berkelahi, minuman keras dan sabung ayam serta mengganggu ketentraman para wanita. Sebenarnya aku dan ibu sudah tak tahan berada di lingkungan ini. Tapi kami tak punya tempat tinggal lain selain di sini. Dan kami juga masih menanggung hutang pada pak Tono seorang rentenir kampung ini, makanya kami tak bisa berbuat apa-apa.
***
Tujuh jam sebelum dipancung
Aku makan perlahan-lahan sup nasi yang sedari tadi disuguhkan, hambar sudah rasanya makanan karena mengingat usiaku tinggal hitungan jam. Selera makanku hilang, aku tak menghabiskan makanan yang kelihatannya nikmat sekali. Rasa laparku hilang begitu saja. “mengapa tak kau habiskan makananmu Alang?” seorang sipir penjara bertanya kepadaku. Aku diam tak menampik perkataannya. ”Hidup kau tinggal hitungan detik, nanti kalau kau mati karena kelaparan, sia-sialah engkau dihukum bertahun-tahun, tak ada lagi tontonan yang menarik kalau kau tak jadi dipancung”. Ia melanjutkan.
“Hahahahahahaha”. Mereka menertawaiku.
Untungnya disini aku sudah bisa meredam emosiku, jika tidak akan ku cincang mereka satu-persatu. Ku tatap sipir yang mengataiku itu dengan tatapan tajam. Ia menunduk. Em, rupanya ia pun tak punya nyali” batinku.
Tak berapa lama, seorang sipir datang dan mengusir dua sipir lainnya. Dari raut mukanya kelihatannya sipir ini tak seperti dua sipir sebelumnya.
***
Di usia senja aku mulai mengenal cinta, meskipun saat itu hanya sekedar cinta monyet. Namanya Aling, dia keturunan cina, tetanggaku juga teman sekolahku, dia pula yang menyelamatkanku dari kurungan ibuku. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal akibat kecelakaan, akhirnya ia diasuh oleh bibinya yang tidak suka dengan kehadiranku. Bibinya tak pernah setuju karena kami bukan orang yang berada dan karena sikapku yang berlebihan.
“Kenapa kau begitu baik kepadaku, sementara orang disekitar sini membenciku dan menganggap aku ini sampah? Tanyaku suatu hari.
“Tak bisakah aku mempunyai teman seperti kau?, menurutku kau tak seperti apa yang dipikirkan orang lain tentang kau”. Aku tak berdaya ketika ia beri jawaban tentang itu. “aku ingin menjadi temanmu selamanya”.
“Janji”. Aku menyetujuinya sambil mengulurkan jari kelingkingku sebagai isyarat perjanjian. Ia menerimanya. Itulah janji seorang anak kecil yang masih polos.
Hanya Aling yang bisa membuat ketentraman dihatiku. Ia selalu membuat ketenangan dalam jiwaku. Dan selalu membuat aku semangat.
***
Kami sudah beranjak remaja, hubunganku dan Aling semakin dekat apalagi sampai sekolah tingkat akhir kami masih sekelas. Namun sampai saat ini kedekatanku dan dia tak pernah direstui. Dan anehnya sampai saat ini aku masih belum menyatakan perasaanku terhadap Aling.
“Gedebuk”. Suara penghapus melayang tepat mengenai kepalaku. Hampir seisi kelas menertawaiku. ”Alang dimanakah tempat papan tulis dan dimanakah posisi ibu menjelaskan pelajaran?”. Ibu Risma seorang kepala sekolah sekaligus guru matematika kelas kami marah dan melempariku dengan penghapus, lemparannya tepat mengenai sasaran dan menyisakan warna putih bekas kapur tulis di dahiku – mungkin ia mantan atlet lempar lembing- aku tersadar dari lamunanku waktu menatap aling yang duduk di bangku paling depan sebelah kananku sementara posisi dudukku paling belakang. Aling hanya tersenyum dan memberi isyarat agar aku mengusap warna putih yang membekas di dahiku. Lalu dengan perlahan jari telunjukku mengarah ke depan sebagai isyarat atas jawaban dari pertanyaan ibu Risma. Ia melanjutkan. “Kau mau sekolah atau hanya menatap gadis cantik di kelas ini?”. Serentak seisi kelas tertawa kembali. Ku lihat Aling menunduk. Akupun ikut menunduk. Seandainya ia bukan guru kelasku aku sudah mencabik-cabiknya.
Ternyata kata-katnya tidak hanya sampai disitu. “Kau pikir Aling akan suka kepadamu?. Sadar Alang kau itu siapa”. Aku keluar kelas tanpa diperintah saat kata-kata itu keluar dari mulutnya. Aku tak bisa menahan emosi. “Alang, Alang kau mau kemana?”. Aku tak peduli panggilannya. “Lihat saja akan aku buktikan kalau aku bisa memiliki Aling”. Batinku dalam hati.
Aling menemuiku di luar kelas.
“Sudahlah Alang jangan kau pikirkan kata-kata Ibu Risma tadi. Belajarlah yang rajin, sebentar lagi ujian akhir”. Kata-kata Aling memberi semangat kepadaku.
“Aling”. Ku tarik tangan Aling agar bisa menatap wajahku. Ia tampak kelihatan cantik dengan balutan jilbab dan senyuman serta lesung pipi pada kedua pipinya.
“Aling, kuulangi lagi namanya, lalu dengan kekuatan yang aku punya aku mencoba mengungkapkan perasaanku kepadanya. “Aku suka kau Aling, maukah kau jadi istriku nanti?”.
Namun belum sempat aku mendengar kalimat dari Aling sebagai jawaban atas ungkapan perasaanku tadi. Tiga orang siswa laki-laki melintas di depan kami dan mendengar apa yang baru saja aku ucapkan.
Sambil berjalan salah satu dari mereka berkata “Aling takkan mau sama kau. Kau dan Aling bagaikan pungguk merindukan bulan, kau tak punya masa depan”.
“ Hahahahaha”. Dua orang temannya ikut tertawa..
Nafasku naik turun mendengar kata-kata itu, emosiku membuncak. Aku lepas tanganku dari genggaman Aling, aku kejar mereka. Dengan kekuatan yang aku punya aku pukul mereka sampai babak belur, walaupun aku sedikit terluka. Tapi aku memenangkan duel yang tak seimbang ini, sampai akhirnya tiga orang satpam sekolah melerai kami dan menggiring kami menuju ruang guru.
Ibu Risma lagi. Ia mengutuk perbuatan kami.
“Sekolah ini untuk belajar, bukan tempat mencari jagoan, kalian itu senior di sekolah sini, sudah kelas tiga harusnya kalian memberi contoh yang baik pada adik kelas kalian, sebentar lagi ujian kelulusan, etika sangat menbantu atas nilai kelulusan kalian, sekali lagi kalian melakukan hal yang mengganggu aktivitas ketentraman sekolah tidak ada ampun untuk tidak meluluskan kalian”.
Kami hanya tertunduk mendengar celoteh ibu Risma. Termasuk Aling.
“Dan kau Alang, kau jangan sok jagoan disini, kau dan Aling jangan buat drama layaknya Romi dan Yuli di sekolah ini”. Sambungnya kembali sembari mengelilingi kami sambil memegang penggaris kayu ditangannya, penggaris itu digunakan untuk menunjuk arah ucapannya kepadaku. “Lagi-lagi aku, lagi-lagi aku” batinku.
Setelah itu ia menyuruh kami keluar ruangannya.
“Aling tunggu”. Ibu Risma memanggil Aling dan aku sempat mendengar percakapan mereka dari luar kelas. “Aku dapat kabar dari keluargamu, katanya setelah lulus nanti kau akan dikirim ke Jakarta untuk tinggal bersama nenekmu di sana”.
***
Enam jam sebelum dipancung
Aku duduk diatas sajadah yang disediakan oleh sipir penjara. Sipir yang satu ini sering membantu aku jika aku membutuhkna sesuatu, berbeda dari dua sipir sebelumnya yang selalu mengejek dan menghinaku. Sipir ini kadang mendatangkan seorang ustadz untukku agar mentalku tidak rapuh dan selalu ingat kepadaNya pada detik-detik terakhir hidupku di penjara ini.
Selesai sholat aku bertanya pada sipir itu “berapa lama lagi aku disini sebelum dibawa ke tiang gantungan?”.
“Kurang lebih enam jam lagi”. Jawabnya.
“Ya Allah masih adakah pintu taubat untukku, untuk seseorang yang telah menghilangkan nyawa orang lain”.
***
Setelah pengumuman kelulusan sekolah, aku bergegas menemui Aling. Kami buat janji di salah satu tempat tersembunyi agar bibinya tidak mengetahui pertemuan kami. Masih dengan wajah polosnya Aling seolah-olah berat menyampaikan sesuatu kepadaku.
“Alang”. Panggilnya
“Ada apa kau mengajakku bertemu disini Aling? Adakah hal penting yang ingin kau sampaikan?”
“Aku mau pergi ke Jakarta, keluargaku disini memintaku untuk tinggal di sana. Disana aku bisa bekerja”.
“Aling, selain orang tuaku tak ada yang aku sayang selain kau. aku gak mau kehilangan kau”.
“Ya Alang aku mengerti. Sekurang-kurangnya kau masih mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Sementara aku, aku tak pernah mendapatkan kasih sayang orang tua, karena itulah aku akan ikut nenek ke Jakarta, mungkin ini jalan terbaik buatku, tapi aku janji aku akan kembali lagi”.
“Tidak Aling, kita pergi sama-sama, kita tinggalkan tempat ini”.
“Jangan Alang, masih banyak tanggung jawab dan urusanmu yang harus kau selesaikan disini, jika engkau pergi, siapa yang akan merawat ibumu. Ibumu sendirian”.
“Kau sayang aku kan Aling?”
“Aku sayang kau Alang”.
“Tapi kau janji kau akan kembali lagi?”.
“Aku janji, tapi kau juga janji untuk tidak buat ulah lagi”. Aku mengangguk
***
Keesokan harinya aku mengendap-endap dibalik rumah Aling, ku lihat ia pamitan pada keluarganya, pada teman-temannya. Sebuah mobil sudah dipersiapkan untuk mengantar kepergiannya. Tak terasa air mataku menetes, aku yang tak biasa menangis tak pernah menyangka kebersamaan kami akan berakhir sampai disini. Aku lemah saat berbicara tentang perasaan. Ketika tante Fiza melintas dihadapanku, seketika itu aku memanggilnya dan menitipkan surat untuk Aling. Surat yang aku tulis semalam setelah pertemuan terakhirku bersama Aling dan dengan diam-diam ia juga menyampaikannya ke Aling.
Tante fiza adalah adik ibu Aling, usianya sudah empat puluh tahun, tapi ia belum juga menikah. Hanya dia saat ini satu-satunya keluarga Aling yang merestui hubungan kami. Selain itu semuanya anggap aku sebagai sampah.
“Titip salam buat Alang”. Kata Aling pelan. Ibu Fiza mengangguk.
“Kau baik-baik disana ya Aling, salam juga buat nenek di sana”. Sambil memeluk Aling.
Perlahan-lahan mobil yang ditumpangi Aling berjalan meninggalkan desa kami, aku menatapnya dari jarak jauh lalu pergi sebelum keluarga Aling mengetahui keberadaanku di belakang rumahnya.
Aling, aku tahu kehadiranku tak pernah diharapkan dalam keluargamu, tapi aku tak mau menyerah, perasaanku untuk memilikimu lebih besar. Kau ingatkan? saat kecil aku sudah punya perasaan itu kepadamu, tapi kita masih kecil belum tahu apa itu cinta, namun aku senang saat itu, karena keluargamu membolehkan aku untuk menapaki kakiku di ubin rumahmu. Tapi setelah orang tuamu tiada, kau diasuh bibimu yang tak kuat dengan ulahku yang selalu meresahkan orang lain. Mereka tak mampu dengan kenakalanku yang selalu merugikan orang lain dan teman-teman sebaya kita. Meski aku tak pernah merugikan engkau dan keluargamu. Tapi tetap saja bibimu merasa terganggu dengan ulahku. Aku pernah melukai kepala Hasyim teman kita, aku lempar kepalanya dengan batu karena ia mengejek keluargaku. Aku juga pernah menampar Dita karena merebut bonekamu, lalu ia menangis. Aku juga pernah mencuri mangga di pohon sebelah rumah pak RT, karena engkau yang memintanya, pernah dikurung ibu karna mencuri sepotong ayam di pasar, lalu kau menyelamatkanku. Dan masih banyak lagi ulahku yang membuat kacau. Kita pernah pergi ke pasar mencuri buah salak dan jeruk saat penjualnya lengah dan memakannya di balik meja pintu masuk pasar. Kau selalu bawa makanan buatku. Dan meyakinkan ibu agar aku dikeluarkan dari kurungan itu. Kemudian ibuku percaya. Kau tahu saat usia kita dua belas tahun. Waktu aku menyendiri di balik tembok sekolah karena merasa tak ada seorangpun yang mau berteman denganku. tapi dengan tegarnya kau mendekatiku dan aku sambut kedatanganmu dengan kemarahan. “kenapa engkau ke sini?” semua orang tak mau berteman denganku karena aku tak punya ayah, aku anak hina. Tapi dengan bijaknya engkau menjawab “tak bisakah aku berteman denganmu” aku tak peduli apa kata orang lain tentangmu, aku merasa nyaman dekat denganmu” kata-katamu layaknya seseorang yang sudah berumur tujuh belas tahun dan kata-kata itu mengobati kepiluan hatiku. Aku senang sekali. Aku tersenyum menyambutnya dan aku memegang jemari tanganmu.
Sampai kita remaja kita semakin dekat, ke mana-mana hampir selalu bersama, tapi bibimu mulai ketat menjagamu. Bahkan setiap ke sekolah engkau selalu diantar dan ditunggu oleh pak Norman pamanmu. Tapi selalu ada celah untuk kita ketemu, dengan banyak alasan dan tentunya dengan bantuan tante Fiza.
Cerita itu sekarang hanya akan menjadi kenangan setelah kepergianmu ke kota Jakarta. Meskipun bertahun-tahun rasanya singkat sekali. Tapi selama itu pula aku akan tetap menunggumu kembali. Karena aku yakin engkau pasti kembali dengan senyuman. Hanya untukku. Aku sayang kamu.
By Alang.
Isi suratku kepadamu, tentunya kau membaca surat itu dengan berlinang air mata.
***
Lima jam sebelum dipancung
Waktu menunjukkan pukul 13.00 Aku bersandar pada tembok penjara masih ditemani seorang sipir yang mengerti dan mau mendegarkan curahan hatiku. Aku menatapnya dengan ujung mataku. Ia tersenyum, ia tahu tatapan ujung mataku mengarah kepadanya. Aku menatap langit-langit penjara sebelum memalingkan wajahku kepadanya dan berkata “pak Iwan, apa kau percaya dengan jodoh?”. Ia mengangguk. Namanya Iwan, berbadan tegap, bertahi lalat diatas bibirnya, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, lebih muda satu tahun dari usia ibuku.
“Apakah Tuhan benar-benar menyediakan jodoh buat kita?”.
Ia mengangguk.
“Apakah Tuhan mengerti siapa yang akan kita pilih untuk jodoh kita nanti kalau kita meminta?”.
Ia mengangguk kembali.
“Tapi kenapa Tuhan tidak adil kepadaku, kenapa Tuhan tak menjodohkan aku dengannya?”. Ia menatapku dengan heran.
“Karena dia sudah pergi”. Jawab pak Iwan tersenyum.
“Hmmm”. Aku tertawa sedikit.
“Berdoalah, semoga Tuhan mengampunimu Alang”. sambungnya tenang.
***
Sebulan setelah kepergian Aling.
Aku merasa hari-hariku hambar, tak ada lagi yang mau mengerti perasaanku. Aku selalu menyendiri dan semakin berulah. Mudah emosi dan tersinggung. Badanku kurus, lebih kurus dari sebelumnya. Aku tak bisa menahan rasa rinduku ke Aling. Sudah satu bulan tak ada kabar darinya untukku. Aku coba bertanya ke Ibu Fiza, dia juga tak pernah mengabariku tentang Aling. Ibu Fiza mulai tertutup kepadaku. Mungkin ia juga khawatir kalau aku tahu keberadaan Aling, aku akan mengejarnya. Bahkan saat aku mencoba menghubungi Aling. Nomornya sudah tak aktif. Aku berteriak memanggil nama Aling sekencang-kencangnya.
Aku bergegas keluar rumah tak kuat menahan perasaan rindu kepada Aling. Aku temui tante Fiza yang sedang duduk di ruang tamu rumahnya, mencoba menanyakan nomor telpon Aling yang baru. Tapi ia bertahan untuk tidak memberikannya
“Alang, bisakah kau ketuk pintu dulu sebelum masuk?”. Katanya menegurku.
“Tante punya nomor telpon aling yang bisa di hubungi?”. Tanyaku.
“Bukannya kau sudah punya nomornya?”.
“Iya tapi itu tak pernah aktif lagi”.
“Kalau begitu aku juga tak tahu nomornya yang baru yang aku tahu nomor yang sama dengan yang kau punya”.
“Bohong”. Rutukku. Ia kaget karena aku menggertak meja yang ada dihadapannya.
Lalu dengan badan gemetar ia menjawab “Aku tak bohong, keluar kau Alang, ini rumahku tak sepantasnya kau berbuat seperti ini”. Ia mengusirku.
Aku keluar, tak berapa lama telpon tante Fiza bordering, ku dengar percakapan dari arah sana.
“Tenang saja, akan kurahasiakan keberadaan Aling”. Kata tante Fiza.
Bangsat. Batinku. Aku tahu ia berbohong tapi aku gak akan berbuat nekad hanya untuk memaksa keinginanku.
***
Empat jam sebelum dipancung.
Aku menarik nafas panjang sambil memegang dahiku. Tak ada sipir yang menemaniku kali ini. Nasi yang disajikan sedari tadi tak aku makan. Aku tak punya selera untuk memakannya. Toh meski aku memakannya nyawaku tinggal beberapa jam lagi. Tak makan juga tak masalah. Tidak berapa lama pak Iwan datang menghampiriku.
“Makanlah ALang”. Aku menggeleng
Pak Iwan tak seperti dua sipir yang menjagaku sebelumnya. Mereka selalu memaksa aku untuk makan walaupun aku tak mau. Mereka selalu mengejekku. Tapi belakangan ini mereka tak pernah muncul lagi. Mungkin mereka sudah dipindahtugaskan ke penjara lain. Tapi aku tak peduli.
“Pak Iwan, apakah ini pengalaman pak Iwan yang pertamakali menghadapi orang seperti aku?”. Tanyaku kepadanya.
“Maksudnya Alang?”. Ia heran dengan pertanyaanku.
“Apakah pak Iwan baru pertamakali berhadapan dengan orang yang akan dihukum mati di tiang gantungan?”.
“Tidak Alang, sebelumnya ada beberapa juga, tapi semoga kau yang terakhir”.
***
Setahun setelah kepergian Aling.
Aku mulai tenang. Aku sudah mencoba tak memikirkan Aling lagi. Ibu sudah mulai tersenyum melihat perubahanku. Aku mulai berpikir positif dan sudah mau bekerja.
Suatu ketika aku mohon pamit pada ibu untuk merantau ke Jakarta. agar aku bisa melunasi hutang-hutang ibu pada lintah darat di desa kami dan memberikan rumah yang layak untuk ibu karena selama ini rumah kami tak ada bedanya dengan bedeng. Hanya di tutupi beberapa triplek dan hanya kamarku yang ditembok, sementara ibu mengalah dengan menggunakan penutup triplek untuk menutupi kamarnya agar tak masuk hujan dan tak kepanasan. Tapi atap rumah kami bocor. Hal inilah yang mendorong aku untuk pergi merantau agar rumah yang selama ini kami tempati bisa direnovasi dan ibu mengizinkanku.
Dengan linangan air mata ibu memelukku sebelum aku pergi.
“Baik-baik disana ya nak”. Kata ibu dengan tersedu.
“Iya bu” jawabku dengan nada sedih. Ibu tak bisa menahan air matanya.
Aku pergi ke Jakarta dengan menumpang truk pengantar sayuran pasar menuju terminal bus arah Jakarta. Numpang pada pak Somad tetangga kami yang berprofesi tukang antar jemput dagangan pasar. Hanya membutuhkan satu jam dari kampungku untuk sampai ke terminal kota.
Terinspirasi dari pak Somad, akupun berprofesi sebagai penjual ayam potong di Jakarta.
Aku menempati sebuah kontrakan berukuran empat kali empat di dekat pasar tempatku berdagang. Tapi tetap tak bisa dipungkiri ingatan tentang Aling masih membanjiri perasaanku. Ia juga di Jakarta. Namun kecil kemungkinan aku akan bertemu dia karena aku tak pernah tahu keberadaannya. Sementara Jakarta luas sekali. Aku masih menyimpan foto-foto kenangan kami waktu dikampung. Saat foto disekolah bersama aling dan teman-teman lainnya.
***
Tak terasa tiga bulan sudah aku berdagang di pasar ini. Namun aku tak pernah menemui Aling. Aku sudah pesimis. Aku serahkan semuanya pada waktu. Biar ia yang akan memberi jawaban atas semuanya. Untuk mencarinya pun hal yang tak mungkin, karena aku belum begitu tahu wilayah Jakarta.
Ketika asyik memotong ayam daganganku tiga orang preman pasar mendekatiku dan menagih setoran bulanan. Padahal di bulan sebelumnya aku tak pernah memberi ruang buat mereka untuk meminta setoran dengan cara illegal. Tetapi mereka tetap memaksa sampai pada bulan ke tiga ini. Namun aku tetap pada prinsipku untuk tidak memeberi uang sepeserpun pada mereka.
“Mana setoranmu, kau sudah tiga bulan ini tak bayar”. Kata salah satu dari mereka yang berbadan gembul yang aku tahu namanya adalah Ponco.
Aku diam saja dan terus melanjutkan potongan ayamku.
“Mana setoran kau, jika kau tak bayar kali ini, jangan lagi berdagang disini, pergi dan bawa barang daganganmu”. ia mebentakku dengan nada tinggi sampai aku terkaget-kaget dan semua mata di pasar itu tertuju padaku. Lalu dengan sigap aku mengangkat pisau potongku dan mendaratkannya pada jari kelingkingnya yang terletak dimeja tepat disebelah kiri ayam yang baru saja aku potong.
“Auwww” ia menjerit kesakitan.
Dengan sigap aku lari karena aku tahu ia dan anak buahnya pasti mengejarku. Aku sembunyi pada lorong sempit di sekitar rumah penduduk dekat pasar. Beruntung ia dan anak buahnya tak menemukanku.
“Huffffff”. aku menarik nafas panjang dan mengelus dada.
Tapi bukan karena ini aku dipenjara.
***
Tiga jam sebelum dipancung
Pak Iwan datang bersama seorang ustadz.
“Alang adakah persoalan yang ingin kamu tanyakan?”. Tanya sang ustadz.
“Mengapa sampai sekarang aku tidak merasa bersalah atas perbuatan yang aku lakukan?”.
“Mungkin kamu belum bisa memaafkan diri kamu sendiri”. Jawabnya.
“Berarti ustadz menyalahkan aku”.
“bukan begitu Alang. Jika tak ada pertanyaan lagi, maka aku akan bercerita tentang Imam Ghazali yang berbicara di depan murid-muridnya”.
“Suatu hari ia bertanya pada mereka. Apa yang paling jauh? Lalu muridnya ada yang menjawab Cina, Bintang dan bermacam-macam jawaban. Imam Ghazali berkata yang paling jauh dengan kita adalah masa lalu. Kendaraan apapun yang kita gunakan kita tak akan dapat kembali ke masa lalu”.
“mungkin sampai sekarang aku masih tak merasa bersalah, karena aku tak bisa kembali ke masa lalu untuk mengubahnya”.
“Lalu apa yang paling dekat dengan kita?”.
“Kematian”. Aku yang menjawabnya.
“Kalau kamu sudah tahu semua itu berarti di hatimu sudah ada kesadaran”.
Setelah kepergian sang ustadz, Aku menggigit jempolku sambil menangis.
“Sejahat apapun perbuatan yang kita lakukan jika kita memang benar-benar mau bertaubat dan mengakui dosa-dosa kita, Tuhan pasti akan mengampuninya”. Begitu kalimat terakhir sang ustadz kepadaku sebelum ia pamit. Mentalku yang sempat down bangkit dan termotivasi. Aku menangis menyelami kalimat itu. Aku berpengangan pada jeruji besi penjara sementara sipir Iwan terus mencoba menenangkan hatiku.
***
Setelah insiden perkelahian dengan preman pasar. Aku menenangkan pikiranku beberapa hari. Mencoba pergi ke sebuah tempat. Bogor. Disana udara sangat sejuk. Menghilangkan penat sesaat.
Aku naik kereta Commuter dari Jatinegara. Kereta sangat sesak tapi beruntung aku mendapatkan tempat duduk paling pinggir dekat pintu masuk kereta. Tidak berapa lama seorang pria dengan lagak mencurigakan naik kereta yang aku tumpangi. Ia memakai kaos berwarna kuning menggunakan topi kupluk, celana jeans dan bersepatu cats warna putih, menenteng sebuah tas kecil. Ia mendekati kerumunan orang yang tidak mendapatkan tempat duduk, aku memperhatikannya ia menyusup pada kerumunan menuju seorang wanita yang berdiri mebelakangiku, berambut pendek sebahu, tinggi semampai dan berkulit putih membawa tas jinjng warna putih, namun ia tak begitu memperhatikan tas tersebut sehingga dengan mudahnya laki-laki itu mengambil isi di dalamnya. Wanita itu tak merasakannya. Diam-diam ia menuju pintu keluar tanpa rasa bersalah dan menduga kalau tak ada yang memperhatikannya. Kuselonjorkan kakiku saat ia melintas di hadapanku, ia hampir terjatuh karena mengenai kakiku, lalu menoleh kepadaku dengan tatapan kemarahan. Aku senyum saja melihatnya. Ia mengangkat kerah bajuku, mencoba memukulku, namun pukulannya ku tepis dan kudorong dia kedepan, kuteriaki ia sebagai seorang pencopet.
“Kembalikan dompet yang kau curi”. Orang-orang dalam gerbong kereta mengerubunginya dan si wanita baru sadar kalau dompetnya telah pindahtangan. Tapi kali ini pencopet itu Beruntung karena pada saat penumpang akan mengepungnya kereta berhenti tepat di salah satu stasiun. Ia melompat dan melarikan diri. aku mencoba menjadi pahlawan untuk membela hak wanita itu, aku kasihan padanya. Bisa jadi di dalam dompet itu banyak sesuatu yang penting.
Aku bersama tiga orang penumpang turun mengejar copet itu. Tak peduli lagi sama jalannya kereta. Tapi tiga orang itu menyerah sebelum mendapatkan pencopet itu. Kudapati dia saat ia berusaha meloloskan diri dengan cara melompat dari jembatan penyebrangan ke atas bis kota. sebelum itu, terjadi perkelahian sengit antara aku dan si pencopet. Aku menang dan meraih kembali dompet wanita itu. Namun belum sempat aku merapikan bajuku setelah perkelahian tadi, wanita korban pencopetan sudah ada di belakangku.
“Terimakasih”. Gumamnya. “Abang udah menyelamatkan dompet aku, sambil memeriksa isi di dalamnya untuk memastikan apakah ada yang kurang.
“Lain kali hati-hati”. Gumamku masih dalam keadaan menunduk membersihkan bajuku. Namun tak berapa lama ia menoleh kepadaku dengan tatapan heran.
“Alang”. Sapanya.
Aku masih tak bergeming, heran ia begitu mengenalku.
“Aku Aling, kenapa kau bisa ada disini?”.
Dunia memang tak selebar daun kelor, aku temukan Aling setelah harapanku sirna untuk mencarinya, memang kata pepatah sesuatu yang hilang sulit sekali mencarinya tapi saat kita sudah tak mengharapkannya lagi ia muncul kembali tanpa di undang.
“Aling, kau tampak begitu cantik sampai aku tak lagi mengenalimu, dulu kau sangat polos, sebegitu besarkah kota Jakarta membawamu pada perubahan ini Aling?. Aku selalu mencarimu”. Ku pegang erat tangannya. “Aku menunggu kau datang kembali ke Medan, tapi kau tak ada kabar. Aku rindu kau Aling”.
“Aku lari dari rumah nenek”. Katanya mengagetkanku
Tak hanya fisik. Bahkan semua karakter Aling berubah. Namun aku masih bisa bersyukur karena ia masih mengingatku.
“Aku tak mau kehilangan kamu Aling “ Kupeluk ia erat, erat sekali. “Ikutlah denganku”. Kuajak Aling ke kontrakanku.
Temaram langit senja mengiringi perjalanan kami.
“Ini kontrakanku, untuk beberapa hari ini kau bisa tinggal disini, kau bisa tidur di kamarku dan aku tidur diluar saja”.
“Sudah berapa lama engkau di Jakarta?”. Tanya aling kepadaku.
“Empat bulan”.
Aling masuk kamarku ia tersentak kaget saat melihat foto kenanganku dan dia waktu di kampung. Melekat jelas di dinding kamarku. Ia menatapku seolah menyimpan tanda Tanya di benaknya terkait foto itu.
“Oooow itu, aku masih menyimpannya”. Jawabku atas pertanyaan dibenaknya sambil menunjuk foto-foto itu. “kenangan yang tak pernah aku lupakan Aling, tidurlah malam sudah mulai larut”.
Esoknya aku mengajak aling ke pasar menemaniku berjualan ayam potong. Aku tak pernah merasa kapok untuk tetap berdagang. Karena tujuanku adalah menyambung hidup.
Usai berjualan aku mengajak aling untuk makan bakso di pinggiran kota Jakarta. Saat sedang asyik melahap semangkok bakso. Gerombolan preman itu datang lagi mengganggu kemesraanku bersama aling.
“Apa yang kalian mau dariku?”. Pekikku menyambut kedatangan mereka.
“kalau kamu tak bisa bayar, bagaimana kalau wanita ini sebagai gantinya?”. Sambil memegangbahu Aling”.
“Bos pasti tertarik sama wanita ini”.
“Puihh”. Aku meludah dihadapannya sebagai gambaran penolakan dan aku marah sekali, karena ia hina aling sebagai perempuan murahan.
Salah satu dari mereka mengambil balok dan mencoba memukulku, dengan sigap aku menahannya dan merebut balok itu lalu kemudian menendang perutnya. Ia terpelanting beberapa meter sementara balok itu aku gunakan untuk memukul dua preman yang lain. Aku bergegas lari menyelamatkan diri. Aku tinggalkan Aling sendirian. Kami saling kejar melewati perkampungan penduduk, sampai pada sebuah tikungan seseorang yang berbadan tinggi tegap seperti Hercules menghalangiku. Dengan kekuatan yang aku punya aku memukulinya, tapi ia tak bergeming sedikitpun. Ia memukulku. Sekali pukul aku terjerambab, aku bangkit mencoba melarikan diri, aku tahu ia bukan tandinganku. Tapi sial tiga orang gerombolan sebelumnya menghalangiku. Aku merasa lebih mudah melawan tiga orang itu daripada si Hercules. Ku jemput mereka satu persatu, kulayangkan siku dan kepalanku ke arah mereka. mereka terjatuh dan aku bisa lolos.
Aku cari Aling setelah itu, Dalam perjalanan menuju kontrakan aku lihat ia berjalan sendirian. di sebuah gang sepi sebab hari sudah mulai larut.
“Kamu tidak apa-apa Aling?”. Tanyaku.
Ia menggeleng.
“Sekarang aku percaya bahwa jodoh memang di tangan Tuhan”. Kataku sambil tersenyum menatap Aling.
“Bukankah kau tak percaya Tuhan Alang?”. Tanyanya heran.
Aku tersenyum.
“Terimakasih aling, kamu sudah datang dalam hidupku, kalau memang jodoh pasti gak akan kemana”.
Ia tersenyum. Kuusap rambutnya.
“Alang”.
“iya, Aling?”
“Ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu”. Raut mukanya serius sekali.
“apa itu Aling?”.
“Tapi aku takut ini akan menyinggung perasaan kamu”.
“Bicaralah, jangan kamu simpan sendiri”.
“Kamu tahu kan aku sayang sama kamu?”.
“Iya, kenapa?”.
“apa kamu masih mau bertahan dalam keadaan seperti ini?”. Katanya. “ini sangat berbahaya buat kamu Alang, apakah kamu tidak berpikir untuk merubah nasibmu, aku ingin melihat hidupmu sukses”.
“Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, apa kamu malu hidup bersamaku yang hanya pedagang pasar?. ini duniaku Aling, tak ada yang bisa merubahnya”.
“Aku mengerti Alang, maksud aku bukan seperti itu. pekerjaan lain kan lebih banyak, pekerjaan ini tak bisa menjadikan kamu kaya, pikirkan juga masa depanmu, aku ingin kamu sukses”. Nadanya lebih tinggi dari sebelumnya.
`“Aling, sejak kapan kamu berpikir seperti itu bahwa kekayaan adalah segalanya”. Buat aku dengan begini aku sudah sangat bahagia”. Jawabku. “apa kamu tak mau menerima keadaan aku?”.
“Aku tak sanggup Alang, bagaimana anak kita nanti kalau keadaan kita masih seperti ini”.
“Tega kau aling, buatku hidup itu yang penting kejujuran dan kebahagiaan”. Aku meyakinkannya sambil memegang raut wajahnya.
“Maksudku lanjutkan sekolahmu, biar aku bantu”.
“Tidak Aling, aku tahu kamu orang berada, tapi kamupun tak akan bisa merubah hidup aku”.
Aku tinggalkan ia dibelakangku. Beberapa langkah aku semakin jauh. Saat aku berhenti sejenak, tak ku lihat Aling di belakangku.
Aku kembali mencarinya.
“Aling, Aliiiiiiiing, Aliiiiiing”. Tak ada sahutan.
Tak berapa lama terdengar suara minta tolong di balik tembok tua yang hampir rapuh.
Kudapati Aling sedang berusaha mempertahankan tas jinjingnya yang akan direbut oleh dua orang pria.
Salah satu dari mereka memukulinya hingga ia pingsan.
“Hey”. teriakku
Seorang dari mereka melarikan diri, yang satunya kudapati aku tendang, tapi tendanganku meleset, justru ia berbalik memukulku. Aku terjatuh. Ia cabut pisau lipat dari sakunya. Aku mencoba untuk tenang, semakin dekat menghampiriku. Saat ia coba menancapkan pisau itu, aku tendang selangkangannya. Ia terpental. Pisau itu lepas dari tangannya. Kini berbalik aku yang berada di atas dan dengan mudah memukulnya. Ia pingsan.
Ku angkat Aling dan cepat-cepat aku bawa ke rumah sakit. Untungnya pihak rumah sakit mengatakan kalau Aling tak apa-apa. Hanya butuh istirahat.
Aku lega, Aling siuman.
“Maafkan aku Alang, aku merasa bersalah karena menghinamu”.
“Tidak Aling, aku yang bodoh, kalau aku tak meninggalkan kamu, kamu tak akan seperti ini. kamu benar, seharusnya aku berubah, aku akan lebih bertanggung jawab”.
Aling mengangguk dalam pembaringannya.
“Tapi kamu janji tak akan tinggalkan aku”.
Ia mengangguk sembari tersenyum. Akupun ikut tersenyum.
Tapi Sekali lagi bukan karena ini aku berada di balik jeruji.
***
Dua jam sebelum dipancung
Semua orang berkata pengalaman mendewasakan kita, tapi orang hanya bisa berkata daripada melaluinya, namun yang menjadi persoalan adalah adakah aku cukup dewasa untuk melalui pengalaman ini.
Ku rekam kembali ingatanku atas kejadian sebelumnya. “Mungkin ia memang pantas mati”. Kataku pelan membaca pikiranku sendiri. Sampai saat ini aku masih belum merasa bersalah.
***
Setelah bertemu dengan Aling. Kebahagiaan selalu menyeruak dalam pikiranku, aku selalu ingin bersamanya tak terbatas ruang dan waktu, tak mau terpisahkan kecuali maut yang memisahkan kami.
Dalam ruang kebisingan kota yang bersuara. Aku duduk diatas tembok setinggi satu meter bersama Aling sambil menikmati es krim. Di bawah kami mengalir sungai dengan tenangnya menikmati kejernihannya. Dan Cuaca saat itu mendung.
“Alang”. Ia memulai pembicaraan.
“ya Aling”.
“Kamu bahagia dengan hidupmu sekarang?”.
“Aku bahagia dengan kamu”.
“Apa rencana kita selanjutnya?”
“Yaaa”. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal sebelum melanjutkan pembicaraan. “Ambil ayam potong kita jual lagi di pasar”. Sambil tersenyum.
“Maksud aku, apa rencana masa depan kita?”.
Diam sesaat.
Lalu dengan pelan aku menjawab “Nikah, kita nikah Aling”.
Diam lagi. Wajahnya kelihatan datar saja saat aku ajak menikah.
“Aling,maukah engkau jadi istriku kelak?”. Iya mengangguk. Dan perlahan hujan mulai turun.
“Berjanjilah untuk tidak meninggalkan aku”.
“Aku janji”.
“Selamanya”
“Selamanya”.
Lalu diam sesaat menikmati turunnya hujan dan Dibawah gerimis hujan kami saling mengikat janji. Ku buka jaketku kupakaikan pada tubuh Aling agar ia terlindungi dari hujan.
“Tapi alang apa kau tak berpikir tentang kejayaan masa depanmu, masa depan kita?”.
Raut wajahku berubah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Aling.
“Kenapa kau bicara tentang itu lagi?”.
“Alang……….”.
Kata-katanya terhenti karena Tak berapa lama Ponco dan kawan-kawannya datang lagi, kini dengan jumlah yang lebih banyak.
“Apa mau kalian?”. Kataku sebelum beranjak dari tempat dudukku.
“Alang, habis sudah kesabaran kami. jika kali ini kau tak bayar, pacarmu akan kami rebut sebagai gantinya, maka semuanya impas”.
Aku mengambil langkah seribu dan menendang salah satu dari mereka terjadi lagi perkelahian sengit satu lawan tujuh termasuk si Hercules. Sementara Aling berada dalam dekapan salah satu dari mereka.
“Lepaskan dia”. Ringkihku.
Selain si Hercules aku bisa mengatasi semuanya termasuk Ponco yang mempunyai dendam pribadi kepadaku karena telah memotong jarinya, ia pun bermaksud balas dendam dan membawa sebilah golok untuk memotongku, tapi sia-sia karena jurusnya tak sebanding dengan yang aku punya. Kini aku dan Hercules saling berhadapan, satu lawan satu.
“Jangan Alang, dia bukan tandinganmu, ayo kita pulang, tinggalkan dia Alang”. Aling berteriak.
Tak ku hiraukan teriakannya.
Aku tendang, pukul, sikut, semua jurus sudah ku keluarkan tapi si Hercules tetap tak tak bergeming sedikitpun. Hercules membalasnya dengan sekali pukul wajahku. Aku mental dan jatuh terpelanting. Aling menangis. Dua orang dari mereka bangun dan memegang lenganku agar Hercules mudah memborbardir tubuhku. saat Hercules mendekatiku Aling memukul Hercules dari belakang dengan sepotong balok. Tapi apalah artinya tenaga perempuan dibandingkan tenaga Hercules. Ia berbalik kea rah Aling dan memukulnya setetes darah mengucur dari bibirnya yang tipis, aling jatuh berbaring dan menangis. Aku marah aku menedang kepala orang yang memegangku dengan jurus kaki dari depan dan yang satunya aku sikut. Mereka jatuh kesakitan. Ku serang Hercules tapi tenagaku tak mampu di banding kekuatannya, ia memukulku dengan lengan bajanya. Aku terlempar beberapa meter.
Setelah itu Hercules mendekati Aling yang terbaring lemas. Hendak memperkosanya. Saat aku melihatnya ku kumpulkan sisa tenagaku dan berteriak dengan kemarahanku. Ku ambil balok tebal di dekatku. Dan dengan langkah seribu.
“Hiaaaaaaaaat”. Aku tendang bokongnya ke depan saat ia membungkuk di atas posisi Aling yang terbaring ia jatuh dengan posisi salto. Aku pukul wajahnya dengan balok itu, lalu kutambahkan dengan kepalan tanganku berkali-kali. Ia tak berdaya lagi. Darah mengucur dari mulut dan wajahnya. Ia sudah tak sadarkan diri, tapi aku masih belum puas. Seandainya bukan karena Aling menyuruhku berhenti memukulnya, mungkin wajahnya sudah hancur karena pukulanku.
“Alang sudah, ia sudah tak berdaya”. Nafasku masih naik turun karena nafsu emosiku.
“ia mati Alang”. Kata Aling lagi dengan nada gemetar.
“kalau kau tinggalkan aku, kaupun akan aku bunuh”.
Kataku sambil berlalu.
Setelah membunuhnya aku berurusan dengan polisi. Tapi sekali lagi bukan karena ini aku dihukum mati. Sebab bukan sepenuhnya salahku. Aku hanya mempertahankan kehormatan Aling, kekasihku.
***
Satu jam sebelum aku dipancung.
“Alang, kau masih berhak meminta makanan terakhir, tak lebih dari sepuluh menit. apa makanan yang kamu suka Alang?”. kata pak Iwan.
“Bubur nasi dan ayam goreng”. Makanan yang sering disuguhkan ibu kepadaku.
Ia berlalu sejenak dan datang membawa nampan berisi makanan yang aku pesan.
“Makanlah Alang, aku tahu kamu lapar”.
“Terimakasih pak”. Aku makan dengan lahap.
Setelah makan aku bertanya pada pak Iwan.
“Apa bapak percaya dengan takdir?”
Ia mengangguk.
“Kalau bapak mau tahu kenapa saya sampai membunuhnya”.
“Aku tak mau tahu, tapi kalau kamu merasa perlu untuk bercerita, aku siap mendengarkan.”
Suatu pagi saat aku siap-siap pergi ke pasar ku lihat Aling mendekap tubuhnya, ia seperti kedinginan. ku sentuh dahinya.
“Astaga, kau demam Aling”. Aling hanya diam.
Aku mengambil air dalam baskom beserta kain untuk mengurangi rasa demamnya. Ku usap dahinya.
“Pergilah Alang, aku tak apa-apa disini”.
“Tidak Aling, aku tak tega meninggalkan kau sendirian dalam keadaan seperti ini”.
“Percayalah Alang aku tidak apa-apa”
Aku menuruti kemauan Aling. Lalu pergi membawa barang daganganku. Namun sebelum itu ku belikan ia sarapan pagi dan obat penghilang demam.
“Makanlah Aling, setelah makan jangan lupa minum obatnya”
Ia mengangguk “terimakasih Alang”.
“Aku pergi dulu, Assalamu ‘alaikum”.
“Waalaikum salam”.
Aku memperbaiki posisi dudukku.
“Teruskan ceritamu Alang”. Kata pak iwan.
“Aku tak pernah menyesal membunuhnya pak, karena memang ia pantas untuk mati. Meski di hadapan Tuhan aku bersalah karena aku telah mendahului taqdir”.
Menjelang siang perasaanku tak enak. Aku pulang sebelum sore tiba. Ku bawakan Aling menu makan siang dan sesampainya di kontrakanku, aku melihat tante Fiza dan bibi Aling datang ke kontrakanku bersama seorang pria berpenampilan menarik lebih tinggi dari aku badannya agak berisi. Aku sembunyi dibalik tembok samping kontrakan mendengar percakapan mereka. Darimana mereka tahu kontrakanku?.
“Aling, maafkan aku”. Kata pria itu kepada Aling. “Aku merasa bersalah karena telah menyia-nyiakan kamu Aling, aku janji tak akan mengulanginya lagi”.
“Kau dengar Aling, Imam sudah minta maaf kepadamu, pulanglah nak”. Paksa bibi Aling. Nggak baik tinggal bersama pria yang bukan siapa-siapa kamu dan tak punya masa depan”.
“Iya Aling kau bisa kembali ke Medan hidup sama-sama, kau sudah dijodohkan sama Imam, ayolah nak. Kita pulang”. Sambung tante Fiza.
“Kau siap-siaplah biar kami tunggu kau di mobil”. Kata bibinya lagi.
Mereka berlalu pergi. Aku sangat geram dengan kata-kata mereka menghinaku. Setelah itu aku masuk ke dalam dan mendapati aling sedang kemas-kemas.
“Aling”. Ia tersentak kaget melihatku. “Kau mau kemana?, bukannya kau sedang sakit?”.
“Aku mau pergi mau menyelesaikan urusanku sebentar Alang, aku sudah tidak apa-apa. tapi aku janji aku pasti kembali untukmu”.
“Aku sayang kamu Aling. Tapi kau mau pergi tinggalkan aku. Kau ingkar janji, kau pembohong, penipu”.
“Alang, aku hanya ingin menyelesaikan urusanku sebentar, setelah itu aku kembali, percayalah Alang”.
Iya memelukku. Nasi yang aku bawakan untuknya terjatuh ke lantai.
“Maafkan aku Aling”.
Dengan perasaan sakit dan perih aku menancapkan pisau ke pinggangnya tiga kali.
“Jika aku tak bisa memilikimu maka tak ada satupun orang yang bisa memilikimu, kau milikku Aling”.
Aling jatuh ke lantai akupun ikut terjatuh mendekap di hadapannya, dan bersama itu pula aku melihat kertas warna pink masih berada di genggamannya. Ku buka secara perlahan kertas itu.
Aku sayang kamu alang, selamanya.
Dalam waktu bersamaan ponselku berbunyi.
Sebuah pesan singkat :
Alang ibumu sudah tidak ada, ia sakit keras tapi kau susah sekali dihubungi, kenapa tak ada satupun kabar darimu Alang?.
“Innaalillaahi wa innailaihi roojiuuun”. Batinku. Dua kesedihan bertubi-tubi mengahmpiriku.
***
Lalu aku dibawa oleh tiga orang sipir dan satu pengawal ke Tiang gantungan yang sudah menantiku, mereka menutup wajahku, lonceng penjara tak henti-hentinya berbunyi, seolah ikut mengantar kepergianku. Aku menangis. terbayang semua kenangan masa lalu saat bersama ibu dan juga Aling.
Setiap perjalanan ada awalnya. Dan aku selalu bertanya apakah rahasia aku dibesarkan di balik jeruji dan berakhir di tiang gantungan. Siapa yang harus disalahkan ataukah diri sendiri yang menentukan.
Dan hidup terlalu singkat untuk dikenang, perjalananku berhenti di sini, tak ada nafas, tak ada detik. Hanya kisah yang akan diceritakan oleh mereka yang masih hidup.
Wanita bisa mengubah segalanya, ia bisa mengubah air yang bening menjadi keruh, bara menjadi api, kebahagiaan menjadi kesedihan. Begitujuga sebaliknya dan aku tak tahu teqdirku berakhir hanya karena persoalan wanita.
Sekarang aku baru mengerti kenapa orang tuaku dan orang tua Aling memberi nama Alang dan Aling. Karena aku dan Aling dilahirkan pada hari yang sama, pada bulan yang sama dan pada tahun yang sama hanya beda beberapa jam. Kami bagai dua anak kembar yang dilahirkan bersamaan. Karena pada saat itu orang tuaku dan orang tua Aling begitu akrab rumah kamipun berdekatan hanya dibatasi satu rumah saja. Tak berapa lama orang tua Aling meninggal karena kecelakaan, ia kemudian diasuh oleh bibinya yang tidak suka dengan keberadaanku. Orang tua Aling tak pernah menghiraukan dan mempertanyakan kepergian ayah. Mereka tak mau mencampur urusan keluarga kami. Bahkan mereka sudah menganggap aku sebagai anaknya. Agar kami selalu bersama-sama. Saat dilahirkan, saat sekolah bahkan pada saat kematian itu tiba aku menyusul Aling dengan cara yang berbeda, karena aku tak mau kehilangan Aling. Ibuku tak pernah tahu aku berada disini. Aku tak pernah memberi kabar kepadanya tentang keberadaanku disini. Sampai saatnya ia pun pergi.
***
Selesai
Ruang sunyi, 2014

COMMENTS