Oleh : Aqeeb Assapekani Kerlap – kerlip cahaya lampu diskotik, temaram cahayanya yang membentuk bola kristal memaksa tubuhku bergerak mengi...
Oleh : Aqeeb Assapekani
Kerlap – kerlip cahaya lampu diskotik, temaram cahayanya yang membentuk bola kristal memaksa tubuhku bergerak mengikuti irama musik disko, tak peduli bartender meliuk–liuk tangannya membalik balikkan botol minuman untuk disuguhkan kepada para pengunjung, sementara aku tetap saja asyik dengan tingkahku, kulihat para pengunjung diskotik mulai memperhatikan aku, mungkin mereka kira aku adalah penari latar di diskotik ini. Sekiranya saja mereka tahu bahwa aku adalah salah satu pengunjung yang mencoba menarik simpati para lelaki yang ingin memuaskan nafsunya.
Kurebahkan tubuhku diatas sofa yang menghiasi pojok tembok diskotik ini, menghempaskan lelah, menghapus keringat yang hampir membasahi seluruh anggota tubuhku, setelah berjam - jam menikmati tarianku yang tak tentu arah, menghilangkan kepenatan yang menumpuk dalam pikiranku.
Seorang lelaki agak botak dan tampak tua mendekatiku, dari rautan keriput yang ada diwajahnya aku mengira usianya hampir menyerupai usia almarhum ayahku. Sedikitpun aku tak mempunyai rasa simpati padanya. Ia mengagetkanku, mencoba menawarkan sebungkus rokok kepadaku, tanpa basa-basi kucabut satu batang dan meletakkannya diantara kedua bibirku. Kulihat ia menjentikkan tangan sebagai isyarat memanggil pelayan diskotik untuk membawakan dua botol minuman, lalu menyalakan api untukku.”terimakasih”. jawabku seadanya, ku hisap kembali rokok itu dalam-dalam, sedalam kebencian yang masih tersimpan terhadap mantan suamiku yang tega meniggalkanku setelah menyisakan dua benih yang mulai belajar merangkak dan berbicara. lalu kabur dengan perempuan lain..
“Kamu penari latar disini?” Tanya lelaki tua itu membuyarkan lamunanku sembari menuangkan minuman ke dalam gelas yang ada dihadapanku.
“Tarian kamu bagus”. Lanjutnya, berusaha merayuku tanpa menunggu jawaban dari pertanyaan yang ia sampaikan. Tangannya mulai menyentuh tanganku. Aku mulai merasakan gelagat yang tidak enak dalam diri lelaki itu, segera kutepis tangannya, lalu pergi tanpa meninggalkan jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan tadi, setelah mencampakkan puntung rokok yang masih menyisakan setengah batang dihadapannya.
“Fuihh, lelaki tak tahu diri sudah bau tanah masih saja tak punya sopan santun, walaupun secara batiniah aku sudah tidak mempunyai harga diri tapi setidaknya aku bisa menjaga perasaanku sebagai seorang wanita”
“Apakah dengan cara seperti ini ia mencoba untuk bertransaksi denganku,apa tidak ada cara lain yang lebih sopan, walaupun begini aku lebih mementingkan etika daripada materi”. Umpatku sekenanya.
Meski begini aku juga bisa memilih lelaki mana yang pantas untuk ku kencani, bukan lelaki yang bau tanah seperti dia. Namun tanpa aku sadari ia mengejarku dan menarik tanganku, ia memaksaku untuk melayaninya saat itu juga, kucoba untuk berontak namun sia - sia tenaganya melebihi kekuatan usianya yang semakin bertambah. Beruntung aku diselamatkan lelaki muda yang tak ku kenal. Laki - laki brengsek itupun menjauh.
Hari menjelang pagi, irama musikpun mulai terdengar pelan, sementara para pengunjung sedikit demi sedikit mulai beringsut dari tempat duduk mereka, sedangkan para pelayan diskotik sibuk merapikan meja yang menyisakan sampah makanan ringan dan botol bekas minuman beralkohol - ada yang masih tersisa setengah- Beberapa penari streptis yang setengah telanjang perlahan menghentikan tarian mereka, sementara para penikmatnya kecewa, seolah - olah mereka ingin kalau hari - hari adalah malam yang enggan kedatangan pagi, tapi apa boleh buat waktu sudah ada yang mengatur, masih ada hari esok untuk tetap berharap menikmati tarian itu. walaupun sebagian para penikmat itu menyaksikan tarian itu bukan dari unsur seni melainkan lekukan tubuh wanita yang menimbulkan birahi kalau sudah begitu uang ratusan ribu pun melayang kehadapan penari itu, walau sebenarnyapun hati mereka berontak kalau bagian tubuh yang mereka pertontonkan hanya dihargai beberapa lembar ratusan ribu, tapi begitulah hidup, untuk bertahan sekedar mengisi perut yang keroncongan apapun bisa dilakukan, mencari nafkah yang pasti halal. Seperti yang aku rasakan saat ini siapa yang sudi kalau satu - satunya virginitas yang harus dijaga, kuserahkan pada lelaki hidung belang secara bergiliran demi lembaran uang.
Setibanya akan pagi diskotikpun hampir tutup. Segera kuambil tas dan bergegas meninggalkan tempat ini.
“Tunggu”. Suara laki - laki muda itu menghentikan langkahku, aku berhenti sejenak sebelum kemudian membalikkan badan.
“ Oh ya terimaksih sudah mau menolongku”. Ucapku datar
“ Bisa aku antar? ”. Ia menawarkan jasanya
Dengan malu-malu aku mengangguk pelan
“Tapi aku mau mampir sebentar di sebuah kafe dekat galleria”. Ucapku masih dengan senyum hambar
“Tak masalah, aku cuma tidak tega membiarkan wanita secantik mbak pulang sendirian dikeremangan malam seperti ini, dan diganggu oleh para pria usil”. Tukasnya.
“Walaupun berada di tempat seperti ini aku yakin mbak adalah orang yang baik”. Kata-kata pujian itu membuat aku tersenyum sekaligus.tersanjung
***
Suasana kafe saat ini hening, tampak hanya beberapa orang yang masih mengisi ruangan itu, mungkin karena hari sudah menjelang pagi. lantunan merdu November Rainnya Guns Roses menambah keceriaan suasana yang hening itu dipadu dengan panorama lukisan yang menghiasi dinding-dinding kafe, hembusan angin dari balkon jendela membuat suasana semakin sejuk. Sangat jauh berbeda dengan suasana diskotik yang penuh hingar bingar. Pelayan kafe menyuguhkan dua porsi sandwich yang aku pesan diatas meja yang ada didepan kami, aku lihat wajah pemuda itu seakan-akan kaget melihat dua porsi makanan yang disuguhkan itu. “kenapa, kamu tidak suka?”. Aku memecahkan keheningan dengan pertanyaan yang merespon sikapnya.
“Ah suka, hanya tidak terbiasa saja”. Jawabnya polos. Lalu diam sejenak
Sekali lagi kutatap wajah pemuda itu, usianya jauh lebih muda dari usiaku tapi dari kepolosan wajahnya tampak kejujuran, lebih jujur dari para lelaki yang pernah mengencaniku.
”Mbak, sering datang ke kafe ini?dan……..”
“Sari, namaku Tri Hapasari Suryodiningrum, cukup dipanggil Sari”. Kataku memotong pertanyaan pemuda itu, sekaligus menjulurkan tangan, aku lupa kalau dari tadi kami tidak saling menyebutkan nama
“Arya”. Jawab pemuda itu merespon tanganku
“Disini aku bisa menemukan kedamaian, ketenangan serta ketentraman setelah merasakan hiruk pikuk suasana diskotik”. Kujawab pertanyaannya yang sempat tertunda.
“Lalu apa yang kamu cari dalam diskotik itu?”
“Disitu aku biasa mencari pelanggan”. Ia sontak kaget
“Maaf aku baru bisa jujur sekarang”. Aku ceritakan semua permasalahan yang aku rasakan pada pemuda itu, iapun dapat mengerti aku.
“Terus malam ini kamu dapat pelanggan?”
“Untuk malam ini belum, eeee malah ketemu kamu”. Ucapku dengan canda sembari menepuk pundaknya. Ia tampak kecewa tapi tetap menampakkan senyum.
Lalu kami larut dalam obrolan panjang, senda gurau, hingga tak terasa pagi tiba dan mentari menampakkan keperkasaannya, setelah membayar segera kami bergegas pulang, kulihat para pedagang malam mengemasi barang dagangan mereka, dan berganti dengan pedagang siang, pemuda itu heran sepanjang perjalanan sebab orang-orang sekitar mengenalku. Namun ia hanya menyimpan rasa penasarannya.
***
Pukul delapan lebih lima belas menit malam, setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan aku sudah standby dilobi hotel yang berada di sekitar Malioboro menunggu pemuda itu, masih terlalu sore untuk penjaja sex komersial seperti aku. Tapi itulah janji sedikit saja terlambat apalagi harus mengingkarinya kita akan rugi. Namun hingga pukul sepuluh malam pemuda itu tak kunjung datang dan ini sudah lebih dari waktu yang ia janjikan, aku mulai khawatir kalau sampai terjadi sesuatu dengannya, sementara orang-orang berlalu lalang dihadapanku keluar masuk hotel, ada yang berbicara melalui handphone, ada yang larut dengan obrolan yang begitu serius, ada yang mencoba menawarkan aku untuk melayaninya, namun sementara aku tolak sebab aku sudah terlanjur memegang janji pemuda itu, namun ada juga yang iseng menggodaku, mengganggu ketenanganku, tapi aku mencoba untuk tetap ramah dan tersenyum pada mereka, -resiko- itu yang ada dalam pikiranku. Sekali lagi kulirik jam tangan yang menghiasi pergelanganku, sudah menunjukkan jam 12 malam tapi pemuda itu masih saja belum datang. jangan–jangan setelah mengetahui statusku ia mulai menjauh, pikirku berprasangka, tiba–tiba ponselku berbunyi, pemuda itu.
“Maaf aku terlambat banyak urusan yang harus aku selesaikan malam ini, tapi sebentar lagi aku akan segera tiba”. ponsel ditutup tanpa menunggu jawaban dariku, aku tetap percaya sama pemuda itu karena saat ini aku benar-benar membutuhkannya.
Seterusnya kami memasuki lobi hotel, dan malam itu pemuda itu mendapatkan sesuatu yang berharga dari diriku tanpa bayar sepeserpun, entah, mungkin ini adalah bentuk balas budiku kepadanya atas pertolongannya di diskotik beberapa hari yang lalu. Aku hanya diam dan ikhlas begitu saja saat pemuda itu mulai menggerayangi tubuhku. Dan hari-hariku ku lalui bersama pemuda itu. Aku tak lagi memikirkan masa lalu, karena ku pikir masa depanku telah menanti bersama pemuda itu. Ia mau menerimaku apa adanya.
Sepulangnya dari hotel kuhempaskan tubuhku diatas ranjang, disampingku dua putri manisku sudah terlelap, mereka tak pernah protes tentang kepulanganku larut malam walau sesekali mereka menanyakan ayah mereka. Aku kembali teringat masa lalu saat aku masih bersama suamiku, sebelum aku terusir dari rumah. Aku memang berada dari keluarga yang mumpuni keturunan darah biru. Keluarga ningrat, tapi karena suamiku yang berpenghasilan pas–pasan, mereka tega mengusirku dari rumah sebab menurut mereka adalah aib jika keluarga ningrat harus berjodoh dengan orang yang biasa. Lalu kami mengontrak rumah kecil disebuah gang sempit. Setelah memperoleh dua buah hati dari suamiku, ia mulai kepincut pada daun muda yang mulai dekat dengannya. Akhirnya tanpa pamit ia pergi dan tak pernah menampakkan hidungnya kembali. Hatiku tersayat, jiwaku menangis, orang tuaku tetap tak mau menerimaku kembali, tapi untuk apa dipikirkan toh semuanya sudah terjadi. Aku bangkit dan menatap wajahku kembali dicermin ”aku masih terlihat cantik, belum tampak raut–raut keriput pada wajahku” masih banyak laki-laki yang mau membayarku dan dengan itu aku bisa menghidupkan kedua bidadariku.
Sejak pertemuan didiskotik itu aku mulai sering bertemu dengan pemuda itu dan sudah sampai pada taraf hubungan intim, selain menjajakannya pada lelaki hidung belang. Pada diri pemuda itu kudapatkan sebuah kepuasan.
Hingga tiba suatu hari…
Kurasakan mual pada perutku, aku sering muntah–muntah…apakah pertanda…? Pikirku. Pada siapa aku akan menuntut, pada pemuda itu? Hingga sekarang aku tak pernah tahu tempatnya berada, iapun tak pernah lagi menemuiku, atau pada lelaki botak bak professor yang pernah mengencaniku, atau pada lelaki gendut yang rambutnya mulai tumbuh uban,.atau pada laki–laki yang bertampang sangar itu atau…. Mereka semua pernah menyimpan benih pada rahimku. Tapi apa mereka akan mengakuinya. aku mulai dihantui perasaan tek tenang. Terus bagaimana dengan dua buah hatiku, apakah mereka akan senang karena akan muncul penghuni baru dalam rumah ini, atau mungkin mereka akan bertanya-tanya siapa yang memberi adik baru untuk mereka, atau bahkan kecewa karena ibu lahir tanpa adanya seorang ayah yang dinanti.aaaaaah!!!
Yogyakarta, 2008

COMMENTS