Oleh aqeeb assapekani Awal januari… Deg, suara detak jantungku berdegup kencang untuk pertama kalinya, saat ku lihat seseo...
Oleh aqeeb assapekani
Awal januari…
Deg, suara detak jantungku berdegup kencang untuk pertama kalinya, saat ku lihat seseorang berada di hadapanku, walau jaraknya sangat jauh tapi mungkin bagiku sangat dekat, sesosok wanita, seorang gadis, seorang perempuan; entah kata apa lagi yang pantas aku gambarkan untuknya sebagai lawan jenis dari seorang pria, dia memang tidak cantik, bahkan mungkin bagi sebagian orang ia adalah seorang wanita yang biasa, yang cukup dilihat tanpa harus dipandang, cukup dikenal tanpa harus dipikirkan, tapi bagiku ia istimewa, ia menarik dan tidak membosankan, kala ia ku pandang, senyumannya, sorot matanya, saat ia bercengkrama dengan teman-temannya, benar- enar menakjubkan, karena memang saat itu ia sedang bebincang-bincang dengan dua orang temannya sambil bercanda dan tertawa.
Uffh, ku tarik nafas dalam-dalam, aku sudah terlalu jauh menghayal tentang dia; memikirkannya, duduk di sampingnya, bercakap-cakap bahkan untuk menyentuhnyapun sesuatu hal yang gak mungkin; ia tak kenal aku. Tapi, tiba-tiba tatapan matanya mengarah kepadaku. Aku jadi salah tingkah, oh Tuhan apa yang harus aku lakukan; mengambil pulpen dan bepura-pura menulis hanya untuk menutupi agar dia tidak tahu kalau aku memperhatikannya, ketika aku mendongakkan kepala untuk menatapnya kembali; kosong; ternyata ia sudah berlalu dari hadapanku.
***
Suatu pagi di kamar tidur
Ha, mataku yang tadinya terpejam tiba-tiba saja terbuka bahkan melebar, aku tersentak kaget karena baru saja wanita itu menghiasi mimpiku, “bagaiman bisa?”. Pikirku. Padahal sebelumnya aku tak pernah berharap ia akan hadir mengisi bunga-bunga tidurku, aah mungkin itu hanya ilusi atau khayalan semata, batinku di sela-sela rasa kantukku. Aku mencoba memejamkan mata kembali. Tapi, mataku tertuju pada sebuah jarum jam, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, aku harus pergi ke kampus; bergegas berganti pakaian dan mengendarai motorku sekencang-kencangnya (sekencang terbangnya Superman) tanpa mandi terlebih dahulu, karena hari ini aku tak ingin terlambat lagi. Namun di perjalanan, ciiit, mendadak aku berhenti di tengah jalan, di tengah kegalauanku akan ke tergesa-gesaan, di tengah kegundahanku akan kedisiplinan waktu dan di tengah kegusaranku akan tatapan dosen killer, aku harus memberhentikan motorku secara mendadak dan suara tadi adalah suara rem motorku. Si…..urung aku melanjutkan kata-kata umpatanku. Deg, berganti dengan suara detak jantungku untuk kedua kalinya berdegup kencang, saat ku tahu yang terlintas di depanku adalah perempuan itu, ia menoleh kapadaku sembari tersenyum.
“Maaf”. Kata itu yang keluar dari mulutnya lembut sekali,
Rasa emosiku terpendam dan berubah dengan sebuah senyuman. Lalu, selangkah, dua langkah ia berlalu dari hadapanku dan menghilang. Aku mengelus dada “hampir saja aku kehilangan orang yang selama ini mengisi hari-hariku dengan rasa penasaranku tehadapnya; andai saja aku tak harus buru-buru mungkin aku akan mengejarnya”. Tanpa sadar lidahku berkata demikian, sambil menarik nafas panjang aku menyeka keringat yang hampir membasahi seluruh anggota tiubuhku.
Setibanya di kampus.
Untung belum ada dosen padahal sudah lima belas menit aku terlambat
“Hei Jang, dosennya ke mana?” tanyaku (dengan gaya dan bahasa khas anak muda) pada Ujang, sahabatku yang sedari tadi menungguku
“Ia gak masuk hari ini”. Jawab Ujang
“Selamat”. Aku mengelus dada lagi. Dengan nafas yang masih naik turun. Tanpa basa basi dan tanpa menanyakan alasan kenapa dosen tidak masuk hari ini. Aku langsung cabut.
***
Satu bulan berlalu dari kejadian tadi, malam ini aku berada di sebuah café bersama sahabatku Ujang, yang selalu setia menemaniku, dan menuruti apa kataku (meski aku nyebur ke kali dia ikut). Di hiasi temaram lampu yang remang-remang membuat suasana café semakin terlihat exotic, cafe ini begitu istimewa, romantis dengan iringan merdu sebuah irama musik yang melankolis. Namanya MU café, terletak di tengah keramaian Kota Bandung, tempatnya juga sangat strategis, menyuguhkan beberapa makanan ala Italia dan Inggris, seperti Spaghetti, Pizzadan semacamnya, entahlah aku tak pernah ingin tahu kenapa café ini dinamakan dengan MU cafe mungkin ada kaitannya dengan Manchester United, yaitu sebuah kota di Inggris yang mempunyai bentukan tim sepak bola yang hebat, tapi itu tak terlalu penting bagiku sebab kedatangan ku ke sini hanya karena aku merasa bahwa dompet di dalam kantongku terasa tebal dan yang terpenting bagiku… “deg”. Aku tak bisa melanjutkan lamunanku karena suara detak jantungku yang ke tiga kali nya berdegup kencang, yaah perempuan itu, kenapa tiba-tiba saja ia berada di sini, dan kali ini beda, ia dikelilingi beberapa orang pria, dan disampingnya duduk seorang pria yang sangat tampan, dari penampilannya mungkin ia seorang borjuis, aku mulai mencerna pikiranku. Ada apa dengannya? Kenapa ia berada di tengah-tengah pria? Mungkinkah… oh, ku coba menepis prasangka burukku terhadapnya karena siapa tahu pria itu adalah teman atau saudaranya, tapi yang membuat aku heran ia tetap saja konsisten memakai jilbabnya meskipun dalam suasana seperti ini ia begitu anggun dan berwibawa.
“Hei,hei,hei, kok melamun, sedang memperhatikan seseorang ya? Ujang melambai -lambaikan tangannya di hadapan wajahku seolah-olah ia bisa membaca pikiranku. Sambil menatap ke arah objek tatapanku.
“Kamu kenal dia Jang”. tanyaku dengan nada heran.
”Gak sih cuma pernah melihat aja”. Jawab Ujang datar sambil makan dengan lahapnya.
“Di mana?” aku mencoba bertanya lagi “Kirakira yang duduk disampingnya itu pacarnya bukan?”. Tanyaku menerka-nerka tanpa menunggu jawaban Ujang atas pertanyaanku sebelumnya.
“Meneketehe, tanya aja sendiri, kenapa si? mmm aku tahu, naksir ya? Ujang mencoba meledekku tapi aku menutupinya dengan menggelengkan kepala.
“Cuma penasaran aja, dia beda dari wanita yang aku kenal, walaupun aku ingin sekali mengenalnya, tapi aku tidak tahu caranya?”
“Tenang dan butuh kesabaran, suatu saat kamu akan mengenalnya, asalkan kamu punya keberanian”. Ujang menepuk pundakku mencoba meyakinkan aku dan aku merasa ada sebuah dorongan yang membuatku semakin percaya diri.
***
Tiga hari berikutnya….
Dengan langkah gontai aku memasuki sebuah toko buku
“Mas ada novel remaja gak?”. Tanyaku pada seorang penjaga toko buku yang berdiri dihadapanku.
“Oh coba lihat di sebelah sana, mungkin aja ada”. Jawabnya sambil menunjuk rak yang bertuliskan novel dan karya sastra dengan ibu jarinya.
Aku bergegas melangkah untuk mendapatkan buku itu, karena ketergesa-gesaanku tubuhku menyenggol sesosok perempuan dan sebuah buku terjatuh dihadapanku. Aku terkejut ketika ku lihat sampul buku itu, ternyata buku itulah yang aku cari, namun saat ingin mengambil buku itu, mataku tertuju pada perempuan yang ada didepanku. Deg, detak jantung itu berdegup kencang kembali. Perempuan itu.
“Maaf”. Kali ini aku meminta maaf dengann intonasi yang rendah demi menghapus rasa bersalahku atas apa yang aku perbuat beberapa menit yang lalu.
“Oh tidak apa-apa”. Ucapnya sembari mengambil buku yang terjatuh.
Aku benar-benar terkesima mendengar tutur katanya untuk pertama kali. Aku pikir ini adalah saat yang tepat untuk mengenalnya, tapi aku bingung akan memulainya dari mana.
“Mmm”. Kilahku ber “mmm” ria untuk mengalihkan suasana dengan menggaruk kepalaku yang tidak gatal, aku grogi.
“Na………”. Belum sermpat kata-kataku berlanjut untuk menanyakan namanya ia telah menghilang dari hadapanku, entah kemana?
Aku cepat-cepat mengambil buku yang aku cari dan membayarnya di kasir, kemudian berlari untuk mengejar sosok itu. Tapi ternyata di luar hujan sangat lebat. Aku terkejut ternyata sosok itu masih ada di pintu keluar toko, menanti hujan reda. Aha, ku coba mendekatinya lagi.
“Belum pulang?”. Aku memulai pembicaraan tanpa rasa canggung lagi.
“Sebenarnya aku buru-buru, tapi hujan selebat ini”.
“Butuh sesuatu?” Aku basa basi lagi.
“Butuh, tapi aku tak bawa payung”.
“Kebetulan aku bawa payung, karena tadi mendung, dan aku tahu hujan akan turun selebat ini, makanya aku sedia payung sebelum hujan”. Kataku sok bijaksana.
“Ayo kita berangkat sama-sama”. Tuturku menawarkan diri
Ia hanya tersenyum dan menyetujui tawaranku. Dalam perjalanan di sertai genangan air yang mnyentuh kakiku, udara semakin dingin, tapi tak begitu terasa karena kami bercerita tentang pengalaman, hobi bahkan tentang novel yang baru saja kami beli. Ternyata ia tak jauh beda denganku pengagum Pramudya Ananta Tur. Pengarang novel fenomenal yang sangat populer itu. Hingga tiba di suatu tempat. Waw, ternyata tempat tinggalnya tidak jauh denngan tempat tinggalku. Sebelum berlalu aku coba melanjutkan pembicaraan yang sempat terputus.
“Nama kamu Intan ya?”. Tanyaku sok tahu dengan mengira-ngira karena aku memang tak punya keberanian untuk menanyakan namanya.
Ia heran, seolah-olah ada sesuatu yang aneh yang pernah ia dengar, sambil mengernyitkan dahi ia balik bertanya.
“Dari mana kau tahu namaku”?
Ternyata tebakanku tak meleset
“Aku kan detektif dan kamu pantas di panggil dengan sebutan itu sebab rupamu bak Intan berlian”. Aku merayu dengan senyuman.
“Kamu bisa aja; tebakanmu sebenarnya tepat tapi kelebihan “N”. Namaku sebenarnya adalah “Ita”. Aku Cuma tersenyum menyadari kekeliruanku.
“Oh ya, namaku Ariel, tapi bukan Ariel sang vokalis band, aku hanya Ariel yang biasa-biasa saja, pengagum novel tapi bukan novelis, ingin jadi penyair tapi tak punya bakat, yaah jadilah aku seorang mahasiswa yang tak punya potensi apa-apa”. Ungkapku panjang lebar sambil mengulurkan tangan, tapi ia tak membalas uluran tanganku kecuali berucap
“Maaf aku lupa mempersilahkanmu masuk dan membuatkan minuman untukmu”.
“Tidak usah, kebetulan hujan sudah reda dan aku harus pulang. Sebelum aku melangkahkan kaki untuk beranjak pergi, ia berkata pelan “terimakasih” terdengar syahdu di telingaku.
“Sama-sama, nice to meet you”. Jawabku dengan gaya Bahasa Inggris yang pas-pasan yang artinya senang bertemu denganmu.
“Semoga ini bukan pertemuan kita yang terakhir”. Lanjutku. Ia hanya tersenyum.
Dalam kamar, aku mencoba mengekspresikan rasa senangku dengan berbagai bentuk ekspresi, teriak, tertawa, bahkan berbicara sendiri. Setelah itu aku dan dia semakin akrab dan saling, berbagi cerita, sempat teringat kata-kata sahabatku Ujang “suatu saat kamu akan mengenalnya, asalkan kamu punya nyali”, dan sekarang aku benar-benar mengenalnya.
“Terimakasih Ujang”. Gumamku dalam hati.
Hari demi hari, waktu demi waktu, aku mulai gelisah akan perasaanku terhadapnya, perasaanku bukan hanya sebatas kagum lagi. Mungkin inilah yang dinamakan cinta, suatu anugerah yang diberikan tuhan terhadap umat manusia. Setiap aku berada di dekatnya, kali ini mulutku seolah-olah terkunci, jantungku semakin berdetak kencang dan tak terhitung lagi entah yang keberapa. Semakin hari rasa itu semakin tumbuh bagaikan akar sebuah pohon yang semakin memanjang dan tak dapat dipisahkan, begitu juga aku tak bisa melupakannya.
Semakin lama pikiranku mulai berkecamuk dan semakin lama rasa ini semakin menyiksa bercampur antara harus dan tidak, antara menyukainya atau melupakannya, sementara sedikitpun aku tak punya keberanian untuk mengatakannya. Aku mulai melihat rupaku di cermin, pantaskah aku untuknya? ia begitu anggun, sementara aku hanya orang biasa, bahkan lebih rendah. Lalu aku memutuskan untuk mengambil pilihan yang kedua “melupakannya!” mencoba untuk tidak bertemu dengannya lagi. Apalagi mengingatnya.
***
Hampir mendekati bulan ketiga sejak perkenalanku dengannya dan sudah berada pada puncak akhir tahun, aku seolah melihat sosoknya kembali, tapi entah dimana dan kapan? Kini bayangannya mulai hadir dan mengisi pikiranku kembali padanya. Ku ambil ponselku, ku cari nomor yang pernah ia berikan untukku, untung saja aku tak menghapusnya. Ku pencet tombol demi tombol, lalu kurapatkan ponselku ke telingaku untuk menghubunginya, saat ia mulai mengangkat telpon, tak ada kata - kata yang keluar dari mulutku. Kututup kembali ponselku dan berkata dalam hati “aku harus datang karena aku laki-laki”. Sebelum pergi aku menulis beberapa bait puisi untuknya.
Perempuan itu kini telah datang, ia bukan lagi khayalan
Ia telah menjadi nyata dan kini ia ada dihadapanku
Bila ia menangis, bukan air mata yang keluar dari kelopak matanya.
Tapi tetesan embun yang siap menyambut pagi
Bila ia tersenyum, yang tampak bukan hanya keindahan dari raut wajahnya
Tapi senyumannnya adalah cahaya kehidupan
Yang kan menyinari setiap insan yang memandang
Anggun, elok nan rupawan itulah dirinya
Ia bukanlah fatamorgana
Perempuan itu kini benar - benar telah datang
Ia bagaikan bidadari pagi, ia ratu di hari rabu
Ia adalah embun yang bumi lahirkan dan menetes saat mentari bersemi
Ia adalah sepi yang datang diantara petir badai menderu
Ia adalah sejuk yang angin bawa di Februari
Ia adalah sinar yang mentari lahirkan setelah fajar pergi
Ia adalah air mata yang tangis ku bawa saat membayangkan kita berdua
Ia adalah alasan mengapa duniaku ada*
Dengan langkah gontai aku berjalan menuju tempat tinggalnya diiringi dengan lagu “surga cinta”-nya Ada Band yang ku dengar dari balik pintu kamarku. Saat itu hari sangat cerah, secerah harapanku untuknya.
Sampai di tempatnya ku lihat seorang pria baru saja berlalu dihadapanku tak sempat aku memberi salam dan menyapanya lebih dulu. Ia bertanya.
“Dari mana?”
“Dari rumah”.
“Oh ya”. Jawabnya datar Aku berusaha menghilangkan rasa curigaku terhadap pria yang baru saja melintas. Dengan bertanya.
“Pria tadi siapa? sepertinya aku pernah melihatnya,”
“Yang mana?” ia balik bertanya.
“Yang baru saja pergi”. sambil menunjuk ke arah berlalunya pria itu.
“Ooo yang itu. Ia adalah seseorang yang mengisi hatiku saat ini”
Aku heran, seolah-olah tak yakin, lalu aku meyakinkan dengan beberapa pertanyaan
“ Maksudmu, Pacar?”
“Yaa bisa di bilang begitu”. Jawabnya kembali dengan santai.
“Sudah berapa lama?”
“Aku baru mengenalnya beberapa bulan yang lalu, dan dua hari kemudian ia menyampaikan isi hatinya dan berjanji akan melamarku beberapa bulan lagi dan ia bersedia akan menikahiku” dengan polosnya ia berbicara.
Dan kali ini “Deg” detak jantungku seolah-olah berhenti dan mungkin memang benar-benar berhenti, saat aku mendengar apa yang baru saja ia ucapkan, tubuhku bergetar seperti ada petir yang menyambar tanpa ada hujan ataupun kilat, sebab ia telah punya orang lain. Aku menyesal karena pria itu baru saja mengenalnya dan menyampaikan kejujuran tentang apa yang ada dalam hatinya. Sedangkan aku, aku terlalu lama menutupi kejujuran dan membiarkannya membusuk dalam hatiku. Tapi aku masih kuat untuk berkata “aku juga mencintaimu” namun hanya hati yang berkata dan hanya rasa yang berucap bukan lisan. Dengan langkah gontai, lunglai bercampur kecewa, aku kembali ke habitatku, yaitu sebuah kamar yang menjadi saksi bisu ketika aku mulai resah memikirkannya. Di akhir kalimat puisiku. Ku tulis sebuah kata sambil berteriak melepas semua kegundahanku “aku pengecut”. Sebelum puisi itu benar-benar menjadi sampah.
Yogyakarta, 2010.

COMMENTS