Ketika realitas lapangan selalu membenturkan ego-primordial antara Kangean-Sapeken, ditambah lagi soal banyaknya tokoh yang selalu ingin tam...
Ketika realitas lapangan selalu membenturkan ego-primordial antara Kangean-Sapeken, ditambah lagi soal banyaknya tokoh yang selalu ingin tampil terdepan, menjadi tokoh dan orang nomor satu. Lantas, jika semua ingin jadi pemimpin siapa yang ingin dipimpin?
Kita memang sangat memahami karakteristik umum warga kepulauan, tahu sedikit tentang banyak hal, hampir semua soal mulai dari pangoncoran hingga pemerintahan sudah pernah dibahas meski tak tuntas, soal halal-haram hingga batu karang dalam lautan, masalah-masalah fiqih dan dakwah hingga Viki Prasetyo yang pernah menjadi buah bibir, mengaji tentang keharaman riba hingga berpraktik menjadi rentenir dan lintah darat.
Kepulauan Sapeken memang terlalu lama berada dalam isolasi negara, sejak Indonesia Merdeka hingga tahun 1990-an hanya terdapat beberapa sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama, hal itupun tidak mampu menampung seluruh anak-anak pulau yang tersebar di 31 pulau, karena persoalan jarak dan daya tampung kelas yang terbatas, beruntunglah ada banyak tokoh agama yang mengajarkan baca-huruf di Langgar-Langar, Musholla, Masjid dan teras-teras rumah, sehingga angka buta huruf tidak mencapai titik tertinggi 100%, meski bisa dipastikan masih di atas 50%.
Meski terisolasi dan susah mendeteksinya dalam Peta Indonesia, negara ternyata cukup peka dalam hal mengeksploitasi alam, mengetahui Kepulauan Sapeken memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) melimpah, tahun 1970-an pemerintah telah melakukan eksplorasi besar-besaran terhadap minyak dan gas di Pulau Saur Kecamatan sapeken, dilanjutkan tahun 1982 setelah minyak dan gas di Pulau Saur habis, kemudian pindah ke Pulau Pagerungan Besar, di sana juga lewat perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Arbani (Arco Bali Nort Indonesia), Medco, Amoco, Beyond Petrolium (BP) hingga terakhir PT. Energi Mega Persada (EMP) Kangean Ltd.
Data terakhir yang berhasil saya temukan, bahwa kontrak eksplotasi oleh PT. EMP Kangean Ltd. terhadap kekayaan alam Kepulauan Sapeken itu berlaku hingga tahun 2030, dengan produksi gas alam awalnya sebesar 175 MSCF (million standard cubic feet) perhari yang disalurkan melalui pipa bawah laut 28 inci sepanjang 450 KM menuju Porong (sebagai homebase). Dari homebase ini kebutuhan gas alam dipasok untuk memenuhi kebutuhan di Petrokimia, Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT PJB Unit Pembangkit Listrik. Sedangkan nilai produksi total Indonesia share (bruto) $ 83.558.000 atau sekitar Rp. 781.267.300.000(tahun 2004).
Kekayaan Kepulauan Sapeken di atas belum termasuk sektor ragam hayati laut, dari terumbu karang, mutiara hingga ikan yang tak terbilang jenisnya, juga keindahan pantai dan pulau-pulaunya.
Terjadinya kesenjangan hidup antara potensi kekayaan alam dan kehidupan warga, membuat warga kepulauan Sapeken yang sudah mulai bisa mengakses informasi dan banyak yang belajar hingga luar pulau, sadar bahwa selama ini mereka ditipu dan dibodohi oleh negara, bahkan muncul kecurigaan ada kesengajaan negara untuk merawat dan memelihara kebodohan itu, agar perusahaan-perusahaan besar itu bebas merampok dan mengeksploitasi kekayaan alam kepulauan.
Antara Cita-Cita dan Ego Kesadaran warga kepulauan Sapeken untuk menuntut hak sejahtera sebagai warga kepulauan yang memiliki kekayaan berlimpah terus disuarakan, tak tanggung-tanggung keinginan untuk menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Kepulauan terus disuarakan mulai awal tahun 2000-an hingga kini, bahkan ada beberapa keinginan untuk lepas dari Kabupaten Sumenep.
Perjalanan panjang menyuarakan Kabupaten Kepulauan hampir mencapai dua dekade, namun belum juga ada tanda-tanda jelas, yang terbaru, Rabu (8/6/2016), sekitar 50 pemuda dan mahasiswa mendeklarasikan Kabupaten Kepulauan, tuntutannya adalah keadilan dan kesejahteraan dalam bentuk Daerah Otonomi Baru (DOB), daerah yang mandiri dengan kewenangan sendiri.
Pertanyaannya, apa yang menjadi kendala utama lambatnya proses pemekaran atau pembentukan DOB untuk Kabupaten Kepulauan Sumenep, padahal di Provinsi Lampung, tempat saya bermukin saat ini, dalam jangka 10 tahun hampir telah terjadi 10 kali pemekaran/pembetukan daerah otonomi baru?
Namun, sebelum membahas penyebab mandegnya tuntutan pembentukan/pembentukan Kabupaten Kepulauan Sumenep tersebut, ada baiknya saya mengajukan beberapa hal teknis terkait alasan, syarat dan cara pembentukan DOB.
Terkait soal syarat, saya meyakini Kepulauan Sapeken telah melampui hal-hal yang disyarakatkan dalam undang-undang, seperti timpangnya pemerataan dan keadilan, kondisi geografis yang luas yang mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat tidak efektif dan efisien, jarak tempuh kurang lebih 12 jam dari pulau ke pusat pemerintahan, termasuk pertimbangan perbedaan karakter sosial masyarakat.
Adapun terkait soal syarat, setidaknya ada tiga syarat utama yang menjadi ketetapan UU.
Pertama, syarat administrasi. Syarat administrasi ini mencakup persetujuan nama calon kabupaten, lokasi kabupaten, persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten, pemberian hibah tanah, dukungan dana untuk Pilkada dan beberapa syarat administrasi lain yang intinya harus dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten Induk dan DPRD setempat.
Kedua, syarat teknis. Syarat teknis ini merupakan hasil kajian atau studi kelayakan untuk menjadi DOB yang meliputi, kemampuan ekonomi, potensi daerah; sosial budaya; sosial politik; kependudukan; luas daerah; pertahanan; kemananan; kemampuan keuangan; tingkat kesejahteraan masyarakat; rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ketiga, syarat fisik kewilayahan. Syarat fisik kewilayahan terkait dengan cakupan wilayah seperti minimal lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten dan peta wilayah dengan daftar nama kecamatan.
Secara umum alasan dan syarat di atas sebenarnya pun telah terpenuhi jika mau dikerjakan. Namun, ada beberapa hal yang bisa menjadi latar penyebab lambatnya proses pemekeran atau pembentukan daerah otonomi baru tersebut.
Pertama, political will. Rendah atau tidak adanya kemauan pemerintah Kabupaten Sumenep untuk melakukan pemekaran/pembentukan Kabupaten Kepulauan Sumenep, hal ini berdampak secara signifikan untuk pemenuhan pesryaratan administrasi.
Kedua, ego sektoral. Tarik menarik kepentingan antara beberapa tokoh, termasuk tarik menarik kepentingan antara isu-isu primordialistik Kangean-Sapeken adalah problem klasik yang tidak pernah selesai, sehingga menjadi salah satu penyebab gerakan pembentukan Kabupaten Kepulauan berjalan parsial dan sporadis, gagal menjadi isu dan kepentingan bersama
Hingga kini, meski kemauan menjadikan Kepulauan Sapeken-Kangean menjadi Kabupaten Kepulauan Sumenep adalah isu bersama tetapi gagal menjadi kepentingan dan kebutuhan bersama, sehingga setiap gerakan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Kelompok pemuda dan mahasiswa cenderung tidak mendapatkan support maksimal dari kelompok tua, begitupun jika masyarakat Kangean bergerak, masyarakat Sapeken bersikap setengah hati, pun sebaliknya, belum lagi perdebatan panjang yang tak menemukan ujungnya tentang lokasi Kabupaten, sikap guyub dan gotong-royong masih sebatas wacana dari forum ke forum, belum menjadi tindakan nyata yang mewujud dalam bentuk pengorbanan.
Biaya yang tak sedikit untuk melakukan studi kelayakan dan hilir mudik mengurus soal administrasi akan menjadi kendala utama, jika masyarakat gagal bersatu melakukan urunan sekaligus menjadi kelompok penekan (pressure group) terhadap pemerintah Kabupaten Sumenep.
Kita memimpikan bersatunya seluruh warga kepulauan Kangean-Sapeken untuk bergerak bersama, menunjuk satu pemimpin yang menjadi nakhoda untuk mewujudkan Kabupaten Kepulauan. Tentu saja diawali oleh para tokoh, untuk menggugah kesadaran warga lewat media-media yang dimiliki, seperti forum pengajian, forum-forum, khutbah dan ceramah.
Penulis : Rahmatul Ummah
Kekayaan Kepulauan Sapeken di atas belum termasuk sektor ragam hayati laut, dari terumbu karang, mutiara hingga ikan yang tak terbilang jenisnya, juga keindahan pantai dan pulau-pulaunya.
Terjadinya kesenjangan hidup antara potensi kekayaan alam dan kehidupan warga, membuat warga kepulauan Sapeken yang sudah mulai bisa mengakses informasi dan banyak yang belajar hingga luar pulau, sadar bahwa selama ini mereka ditipu dan dibodohi oleh negara, bahkan muncul kecurigaan ada kesengajaan negara untuk merawat dan memelihara kebodohan itu, agar perusahaan-perusahaan besar itu bebas merampok dan mengeksploitasi kekayaan alam kepulauan.
Antara Cita-Cita dan Ego Kesadaran warga kepulauan Sapeken untuk menuntut hak sejahtera sebagai warga kepulauan yang memiliki kekayaan berlimpah terus disuarakan, tak tanggung-tanggung keinginan untuk menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Kepulauan terus disuarakan mulai awal tahun 2000-an hingga kini, bahkan ada beberapa keinginan untuk lepas dari Kabupaten Sumenep.
Perjalanan panjang menyuarakan Kabupaten Kepulauan hampir mencapai dua dekade, namun belum juga ada tanda-tanda jelas, yang terbaru, Rabu (8/6/2016), sekitar 50 pemuda dan mahasiswa mendeklarasikan Kabupaten Kepulauan, tuntutannya adalah keadilan dan kesejahteraan dalam bentuk Daerah Otonomi Baru (DOB), daerah yang mandiri dengan kewenangan sendiri.
Pertanyaannya, apa yang menjadi kendala utama lambatnya proses pemekaran atau pembentukan DOB untuk Kabupaten Kepulauan Sumenep, padahal di Provinsi Lampung, tempat saya bermukin saat ini, dalam jangka 10 tahun hampir telah terjadi 10 kali pemekaran/pembetukan daerah otonomi baru?
Namun, sebelum membahas penyebab mandegnya tuntutan pembentukan/pembentukan Kabupaten Kepulauan Sumenep tersebut, ada baiknya saya mengajukan beberapa hal teknis terkait alasan, syarat dan cara pembentukan DOB.
Terkait soal syarat, saya meyakini Kepulauan Sapeken telah melampui hal-hal yang disyarakatkan dalam undang-undang, seperti timpangnya pemerataan dan keadilan, kondisi geografis yang luas yang mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat tidak efektif dan efisien, jarak tempuh kurang lebih 12 jam dari pulau ke pusat pemerintahan, termasuk pertimbangan perbedaan karakter sosial masyarakat.
Adapun terkait soal syarat, setidaknya ada tiga syarat utama yang menjadi ketetapan UU.
Pertama, syarat administrasi. Syarat administrasi ini mencakup persetujuan nama calon kabupaten, lokasi kabupaten, persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten, pemberian hibah tanah, dukungan dana untuk Pilkada dan beberapa syarat administrasi lain yang intinya harus dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten Induk dan DPRD setempat.
Kedua, syarat teknis. Syarat teknis ini merupakan hasil kajian atau studi kelayakan untuk menjadi DOB yang meliputi, kemampuan ekonomi, potensi daerah; sosial budaya; sosial politik; kependudukan; luas daerah; pertahanan; kemananan; kemampuan keuangan; tingkat kesejahteraan masyarakat; rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ketiga, syarat fisik kewilayahan. Syarat fisik kewilayahan terkait dengan cakupan wilayah seperti minimal lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten dan peta wilayah dengan daftar nama kecamatan.
Secara umum alasan dan syarat di atas sebenarnya pun telah terpenuhi jika mau dikerjakan. Namun, ada beberapa hal yang bisa menjadi latar penyebab lambatnya proses pemekeran atau pembentukan daerah otonomi baru tersebut.
Pertama, political will. Rendah atau tidak adanya kemauan pemerintah Kabupaten Sumenep untuk melakukan pemekaran/pembentukan Kabupaten Kepulauan Sumenep, hal ini berdampak secara signifikan untuk pemenuhan pesryaratan administrasi.
Kedua, ego sektoral. Tarik menarik kepentingan antara beberapa tokoh, termasuk tarik menarik kepentingan antara isu-isu primordialistik Kangean-Sapeken adalah problem klasik yang tidak pernah selesai, sehingga menjadi salah satu penyebab gerakan pembentukan Kabupaten Kepulauan berjalan parsial dan sporadis, gagal menjadi isu dan kepentingan bersama
Hingga kini, meski kemauan menjadikan Kepulauan Sapeken-Kangean menjadi Kabupaten Kepulauan Sumenep adalah isu bersama tetapi gagal menjadi kepentingan dan kebutuhan bersama, sehingga setiap gerakan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Kelompok pemuda dan mahasiswa cenderung tidak mendapatkan support maksimal dari kelompok tua, begitupun jika masyarakat Kangean bergerak, masyarakat Sapeken bersikap setengah hati, pun sebaliknya, belum lagi perdebatan panjang yang tak menemukan ujungnya tentang lokasi Kabupaten, sikap guyub dan gotong-royong masih sebatas wacana dari forum ke forum, belum menjadi tindakan nyata yang mewujud dalam bentuk pengorbanan.
Biaya yang tak sedikit untuk melakukan studi kelayakan dan hilir mudik mengurus soal administrasi akan menjadi kendala utama, jika masyarakat gagal bersatu melakukan urunan sekaligus menjadi kelompok penekan (pressure group) terhadap pemerintah Kabupaten Sumenep.
Kita memimpikan bersatunya seluruh warga kepulauan Kangean-Sapeken untuk bergerak bersama, menunjuk satu pemimpin yang menjadi nakhoda untuk mewujudkan Kabupaten Kepulauan. Tentu saja diawali oleh para tokoh, untuk menggugah kesadaran warga lewat media-media yang dimiliki, seperti forum pengajian, forum-forum, khutbah dan ceramah.
Penulis : Rahmatul Ummah

COMMENTS